Esai
Sosiologi Sastra
Budaya Nias dalam Novel Manusia Langit karya J.A Sonjaya
Oleh Noviana Windri Rahmawati
Secara
intitusional objek kajian sosiologi dan satra adalah manusia dalam masyarakat,
sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah
orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Perbedaannya,
apabila sosiolog melukis kehidupan manusia dan masyarakat melalui analisis
ilmiah dan objektif, sastrawan mengungkapkannya melalui emosi, secara subjektif
dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap
didominasi oleh emosionalitas (Ratna 2013: 4).
Sosiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu kata Socius
dan Logos,Socius artinya kawan atau teman dan Logos berarti
kata atau berbicara. Menurut bapak Selo Soemardjan dan Soelaiman
Soemardi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan
proses-proses sosial, termasuk perubahanperubahan sosial. Sapardi Djoko
Damono juga menjelaskan bahwa pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan
segi-segi kemasyarakatan itu disebut sosiologi sastra dengan menggunakan
analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian digunakan untuk
memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang berada di luar sana (Dalam Dewi
2013:4-5).
Karya sastra merupakan gambaran kehidupan hasil
rekaan seseorang yang seringkali menghadirkan kehidupan sosial diwarnai oleh
sikap, latar belakang dan keyakinan pengarang. Sebagai salah satu karya sastra,
novel memegang peranan penting dalam memberikan pandangan untuk menyikapi hidup
secara artistic imajinatif. Hal ini memungkinkan karena persoalan yang
dibicarakan dalam novel adalah persoalan tentang nilai sosial kehidupan (Dalam
Dewi, 2013: 4).
Novel merupakan salah satu ragam prosa di samping
cerpen dan roman. Novel adalah prosa yang panjang menyuguhkan tokoh-tokoh dan
menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun (Sardjiman, 1990
dalam Murpratama, 2012:4). Berkaitan dengan hal itu dalam novel Manusia Langit yang merupakan sebuah
novel etnografis yaitu kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat
atau etnik tentang adat istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi dan bahasa,
pengarang mencoba menguraikan kehidupan sosial masyarakat pulau Nias dengan
tokoh utama yaitu Mahendra sebagai seorang arkeolog.
Aspek sosial adalah suatu tindakan sosial yang
digunakan untuk menghadapi masalah sosial. Masalah sosial ini timbul sebagai
akibat dari hubungannya dengan sesama manusia lainnya dan akibat tingkah
lakunya. Masalah sosial ini tidaklah sama antara masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain karena adanya perbedaan dalam tingkat perkembangan dan
kebudayaannya, sifat kependudukannya, dan keadaan lingkungan alamnya
(Soelaiman, 1998 dalam Murpratama, 2012:6).
Penulis menggunakan novel Manusia Langit karya J.A
Sonjaya yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat pulau Nias sebagai bahan
untuk analisis aspek sosial yaitu aspek keagamaan, budaya, politik, pendidikan,
ekonomi, dan aspek kependudukan. Nias merupakan sebuah pulau yang terletak di sebelah
barat Pulau Sumatra. Pulau tersebut dihuni oleh mayoritas suku Nias (Ono Hina)
yang masih memiliki budaya megalitik (www.wikipedia.com
diakses pada 30 Mei 2016). Masih adanya budaya
megalitik di pulau Nias ditunjukkan oleh kutipan cerita sebagai berikut.
Aku tidak pernah mengerti mengapa batu
yang kalah oleh air itu banyak dijadikan media pemujaan oleh orang Nias. Batu
tersebut biasanya dibuat untuk menhir, dolmen, altar pemujaan, patung leluhur,
fondasi bangunan adat, dan banyak lagi (hal. 95)
Setiap perempuan di atas tujuh tahun,
sehabis mandi dan mencuci di sungai, selalu pulang membawa batu dan ditaruh di
halaman rumah. Itu dilakukan setiap hari. Jika batu-batu rumah telah
menggunung, para lelaki dewasa mulai menatanya sebagai fondasi rumah,
meninggikan jalan, membuat benteng. Maka lama-kelamaan terbentuklah sebuah
pemukiman didominasi oleh batu (hal. 95)
Novel ini menceritakan tentang Mahendra, seorang
arkeolog muda yang berusaha melepaskan diri dari kungkungan peradaban kampus.
Ia kabur ke Banuaha, sebuah kampung di pedalaman Pulau Nias. Banuaha memiliki
jarak lebih-kurang 14 km yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki
menyebrangi beberapa sungai dan naik-turun bukit. Jarak tersebut bisa ditempuh
empat jam atau bisa pula dua hari satu malam jika sungai tidak banjir. Mahendra
pernah menjadi dosen dulu. Saat itu dia jatuh cinta kedapa mahasiswinya yang
berdarah arab, Yasmin. Mereka berdua berpacaran. Hubungan mereka tidak direstui
dan akhirnya Yamin Hamil dan dipaksa menggugurkan janinya. Yasmin menolak dan
dia nekat bunuh diri. Yasmin melakukannya untuk menjaga nama baik dan harga
diri Mahendra sebagai Dosen. Itulah alasan mengapa Mahendra kemudia pergi ke
Pulau Nias. Selain untuk melakukan penelitian dia juga ingin melupakan
masalahnya bersama Yasmin.
Mahendra yang berkeinginan menjadi orang Banuaha
harus mengadakan pesta besar dan membayar sekitar dua puluh ekor babi untuk
pengukuhan namanya dan meresmikan bahwa dia resmi menjadi suku Banuaha.
Mahendra kemudian jatuh cinta dengan Saita sepupu
Ama Budi. Sayangnya Saita sudah dijodohkan oleh keluarganya dengan seorang
lelaki bernama Arofosi. Akhirnya Saita nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung
diri. Namun untuk menutupi kematian Saita, Sayani membakar diri dengan jasad
Saita. Atas perintah Ama Budi, Mahendra kemudian memutuskan kembali ke
Yogjakarta untuk menghindari kekacauan di kampungnya. Dalam perjalanan pulang
ke Yogja, kapal yang Mahendra tumpangi mengalami kecelakaan karena badai dan
akhirnya Mahendra tewas meskipun awalnya dia berhasil selamat.
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam
lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum
disebut Fondrako yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran
sampai kematian. Disamping itu orang Nias juga menganal istilah kasta. Dimana
untuk mencapai tingkatan kasta tertinggi seseorang harus mampu melakukan pesta
besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi
selama berhari-hari. Dalam owasa, setiap orang berusaha “saling
mengalahkan”, misalnya martabat akan terangkat oleh semakin besar jumlah babi
yang disediakan; dagingnya kemudian akan dibagikan di pesta kepada masyarakat
sesuai peringkat dan golongan, pemberian daging juga menujukan rasa hormat pada
tamu. Pemberian daging pada owasa juga mengandung unsur suci karena
orang Nias “menganggap diri ” sebagai babi-babi para dewa, sehingga kurban babi
melambangkan kurban manusia. Dengan Kata lain, pamor seseorang tidak diukur
dari jumlah kekayaan yang dihimpun, tetapi oleh kemampuannya menghimpun
kekayaan untuk dibagikan. (Dalam Bago, 2012) Selain aspek kebudayaan tentang
hokum adat sebagai berikut.
“adat sudah menggariskan bahwa hanya
mereka yang sudah menjalankan adat, menjalankan pesta-pesta, yang didengar
ucapannya di kampung” (hal.1 01)
“keluarga dan kerabatku akhirnya
mendorong aku untuk membuat pesta. Aku memotong 30 ekor babi untuk pengukuhan
statusku sebagai kepala desa. Tetapi tetap saja suaraku tidak didengar.” (2010:
101)
“Mangosawa, pesta tertinggi. Dan itu
sangat berat.” (hal. 101)
“ya, demi adat aku melakukannya, tapi
butuh tiga tahun sejak menjadi kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya.
Ratusan ekor babi dan puluhan gram emas dikorbankan, berkarung-karung beras
direlakan untuk menjamu khalayak yang datang ke pesta selama tujuh hari tujuh
malam.” (hal. 101)
Pemberian salam kepada oleh Suku Nias
sesama sangat tinggi nilainya terhadap satu dengan yang lain. Bila seseorang
tidak bersapaan atau memberi salam kepada yang lain, maka diantara kedua belah
pihak sudah terjadi disintegrasi sosial yang mungkin disebabkan oleh sifat,
gaya, cara jalan, tutur bahasa, cara berpakaian atau penataan rambutnya yang
kurang diterima oleh kebanyakan orang. Jika sifat di atas tidak ada maka relasi
mereka menjadi lebih akrab sehingga setiap bertemu selalu menyapa dengan ucapan
“Ya’ahowu” (salam khas Nias), “sauhagolo” untuk ucapan terima kasih.
“ya’ahowu!” kembali sambutan salam keluar dari
mulut para siswa serempak dengan logat agak aneh (hal.82)
“sauhagolo,
Ama!” aku berterima kasih kepada pemimpin sekolah itu. (hal. 125)
Agama Suku Nias beragam kepercayaan
atau keyakinan, di antaranya kepercayaan kepada dewa pencipta, dewa atas dan
dewa bawah semesta alam, kepercayaan kepada kekuatan gaib dan roh halus,
kepercayaan kepada kuasa arwah nenek moyang, kepercayaan kepada kekuatan alam
dan kesetiaan kepada pola tradisi. Kepercayaan ini dibuat dalam wujud yang bisa
kelihatan dan diraba seperti patung, mökö-mökö, pohon, sungai, angin, angin,
hewan dan manusia. Sebelum masuk Injil di Pulau Nias, agama kepercayaan Suku
Nias adalah fanömba adu yang disebut Pelebegu. Lowalangi adalah nama yang dipakai orang
Kristen khususnya Suku Nias untuk penyebutan nama Allah saat ini. Pada
masa sekarang sebagian besar orang Nias sudah memeluk agama Kristen dan sedikit
Islam (Dalam Fudirman, 2012).
“Benar
abangku tidak mau mengikuti Cara adat. Sejak kecil ia sangat rajin ke gereja.
Karena taat agama, makanya ia mengikuti aturan gereja untuk tidak membayar mas
kawin sesuai adat. ….” (hal. 69)
Mendengar
aku berteriak seperti itu, ia cepat-cepat masuk ke dalam, mengambil injil dan
kain putih yang berisi entah apa. (hal. 113)
“orang gereja yang mengajarkan kami mengubur
seperti ini” (hal. 118)
Aku
sekarang mengerti mengapa Bang Budi hanya mau kembali setelah menjadi pendeta
karena kedudukan pendeta sama tingginya dengan tetua adat. ( 2010: 126)
Dalam novel ini, mata pencaharian suku Nias adalah
berladang. Mereka bertahan hidup dengan menanam
beberapa jenis ubi, cokelat, karet, beberapa menanam padi, nilam. Mereka makan
dengan ubi hasil ladang mereka, sesekali mereka makan nasi tetapi hanya ketika
ada pesta-pesta besar. Selain itu juga memelihara babi di belakang rumah.
Bau
cokelat yang dijemur dan gemuruh air di Sungai Gomo menambah keintimanku dengan
kampung megalit yang bersahaja itu. (hal. 97)
Jika
sedang tidak musim cokelat, Ama Budi beralih ke pekerjaan menyadap karet. (hal.
98)
Sejak
hutan alami diganti menjadi kebun karet, cokelat, dan nilam, mulai sering
terjadi banjir. (hal. 133)
Suku Nias di Banuaha juga mengenal pendidikan.
Mereka juga menyadari bahwa pendidikan penting untuk anak-anak mereka. Tidak
hanya orang tua, anak-anak merekapun menyadari bahwa pendidikan penting untuk
bekal mereka di masa depan.
…..aku
dengan sangat mudah bisa diterima menjadi guru SMP, menjadi guru relawan,
bergabung dengan empat guru relawan lain yang asli Banuaha. (hal. 89)
“kami
juga perlu arahan, misalnya bagaimana belajar Bahasa Indonesia, IPS, IPA,
Matematika.” Jelas siswa itu lantang. (hal. 86)
Hari
itu aku tetap masuk ke sekolah karena sebagian siswa yang berasal bukan dari
seberang sungai sudah mulai berdatangan sejak pukul tujuh pagi. Mereka butuh
waktu satu sampai dua jam berjalan kaki dari rumahnya hingga tiba di sekolah.
(hal. 132)
……
jangan membayangkan siswi-siswi SMP di Banuaha sama usianya seperti siswi-siswi
di kota. Di kampong ini usia siswi-siswi SMP bervariasi dari yang berusia 10
tahun hingga 21 tahun. Bahkan beberapa diantaranya sudah menikah dan memiliki
anak. (hal. 133)
Suku Nias juga memiliki adat yang mengatur tentang
perkawinan seseorang. Adat Nias tidak memberi keleluasaan kepada anak muda
untuk memilih pasangan dan mengungkapkannya secara terang-terangan. Memilih
jodoh adalah hak orang tua. Di Banuaha perempuan itu dibeli. Di sini ada
istilah bὅli niha, kita harus memberikan sejumlah harta kepada pihak perempuan
Sebelum menikah dengan gadis Nias, sebaiknya seseorang mempertimbangkannya
dengan matang. Kalau tidak, bisa jadi seumur hidup harus bekerja ekstra keras
untuk melunasi hutang boli niha. Pihak calon mempelai laki-laki bisa membayar
uang jujuran sebanyak dua pertiganya dulu. Istilahnya, solaya iraono
(kawin gantung). Kawin gantung adalah perempuan bisa dibeli sejak dia kecil
dengan membayar 2/3-nya dulu. Setelah dibayar dua pertiganya, anak perempuan
itu akan dibawa ke rumah pihak laki-laki. Setelah dewasa, si anak perempuan
akan dikawin. Tujuan kawin gantung adalah untuk membantu orangtua laki-laki
karena anak perempuan itu bisa bekerja sebagai pembantu. Perhitungan membeli
perempuan dilakukan dengan menggunakan potongan daun pucuk kelapa (bulu nohi
safusi) di atas tikar. Yang melakukan penghitungan pihak keluarga
perempuan. Jika si gadis dari keluarga biasa dilamar seorang dosen atau guru,
maka ada perhitungan-perhitungan biaya yang harus ia penuhi. Ada biaya untung masing-masing anggota keluarga dengan perhitungan
tertentu. Yang
tak kalah mengagetkan, si calon suami bisa dikenakan biaya untuk hal-hal yang
sangat pribadi. Misalnya, pengesahan untuk tidur satu kamar dengan calon istri (fasiawo)
sebanyak delapan alisi (ukuran besar seekor babi) babi, atau biaya memegang
buah dada pengantin perempuan (folokhombalonora) sebanyak delapan alisi
babi.
Setelah
dibayar 2/3-nya anak perempuan itu dibawa ke rumah pihak lelaki, yang kelak
jika sudah dewasa akan dikawinkan. Tujuan dari kawin gantung iniuntuk membantu
orang tua lelaki karena anak perempuan itu bisa bekerja seperti pembantu.
Selain itu, solaya iraono dilakukan untuk alas an mengikat hubungan. Jika
selama kawin gantung itu calon suami meninggal,anak perempuan itu bisa
diperistri oleh saudara kandung calon suami atau juga diperistri oleh calon
bapak mertuanya.” (hal. 140)
“Perhitungan
pertama yang harus dikeluarkan adalah bobojiraha atau biaya pertunangan
sebanyak enam atau 6 x 5 alisi babi yang harus diserahkan kepada orang tua
perempuan. Itu kira-kira 12 ekor babi tanggung. Selain itu orang tua perempuan
juga harus diberi gari/balӧja’a atau emas sebanyak 60 ketip.” (hal. 142)
“untuk
ono zebua ono tetalu sebanyak 2 x 5 alisi babi. Ono zebua sebanyak 3 x 5 alisi
babi. Ayagawe atau untuk nenek sebanyak 8 alisi babi. Ayacua atau untuk kakek
sebanyak 3 x 5 alisi babi. Bawi wanӧrӧ atau babi yang dibawa ketika menengok
calon pengantin perempuan sebanyak 5 alisi babi. Tali gerus atau istri kedua
ayah perempuan sebanyak 8 alisi babi.” (hal. 142)
“nifugo
atau harga kain untuk perempuan sebanyak 5 alisi babi. Untuk tidur dengan calon
istri untuk pertama kali harus membayar fosiawӧ jumlahnya 8 alisi babi.
Folokhӧmbalӧnara atau bayaran untuk memegang buah dada pengantin perempuan
sebanyak 8 alisi babi.” (hal. 143)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Novel
Manusia Langit dan masyarakat Pulau Nias
memiliki hubungan dengan kenyataan yang ada di dalam masyarakat suku Nias. Hal
ini tampak dalam banyak aspek budaya atau tradisi yang ada di dalam novel Manusia Langit. Suku
Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang
masih tinggi. Aspek budaya tersebut diantaranya budaya kehidupan
suku Nias yang masih megalitikum, hukum adat, mata pencaharian, agama/religius,
budaya yang mengatur perkawinan yang hingga saat ini masih mereka jalankan.
Budaya tentang kehidupan suku Nias yang masih megalitikum. Suku Nias yang masih
menggunakan batu sebagai bahan utama dalam membuat rumah adat meraka, pemujaan
roh, menhir, dolmen, patung leluhur dan masih banyak lagi. Mata pencaharian
suku Nias adalah berladang. Mereka bertahan hidup dengan menanam beberapa jenis
ubi, cokelat, karet, beberapa menanam padi, nilam. Tentang hukum adat suku Nias
yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahir hingga kematian. Budaya Nias yang juga mengenal kasta. Jika
seseorang ingin mencapai tingkatan tertinggi harus mampu mengadakan pesta besar
selama berhari-hari dan mengundang ribuan orang. Ratusan babi, ribuan kilo
beras bahkan emas harus siap dikorbankan. Budaya memberikan salam kepada sesame
suku Nias juga diwajibkan jika tidak maka akan terjadi disintegrasi sosial. Suku Nias mempunyai budaya yang beragam
kepercayaan atau keyakinan, di antaranya kepercayaan kepada dewa pencipta, dewa
atas dan dewa bawah semesta alam, kepercayaan kepada kekuatan gaib dan roh
halus, kepercayaan kepada kuasa arwah nenek moyang, kepercayaan kepada kekuatan
alam dan kesetiaan kepada pola tradisi. Namun saat ini mayoritas mereka adalah
pemeluk agama Kristen. Juga
ada budaya yang mengatur tentang perkawinan dimana memilih jodoh adalah hak
orang tua, harus membayar jujuran sesuai hitungan sesuai kesepakatan dari kedua
belah pihak, harus membayar setiap anggotan keluarga pihak perempuan dengan
babi, harus membayar dengan babi kepada pengantin wanita ketika hendak
melakukan hubungan suami istri untuk yang pertama kali saja. Dari uraian di
atas maka dapat disimpulkan bahwa novel Manusia
Langit memenuhi kajian sosiologi
sastra.
Daftar
Pustaka
Bago, Yulinus. 2012. Kehidupan dalam Masyarakat Nias.
Tersedia: http://batu-malang.blogspot.com/2012/02/kehidupan-dalam-masyarakat-nias.html?m=1
(diakses pada 10 Juni 2016)
Fudirman. 2015. Agama Suku Nias Kuno. Tersedia: http://www.kompasiana.com/fudirman_zebua1989/agama-suku-nias-kuno_5555b00c6523bd732fa4a689.
(diakses
pada 10 Juni 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar