Budaya Nias dalam Novel Manusia Langit karya J.A Sonjaya - Mininewspaper

Breaking News

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Jumat, 01 Juli 2016

Budaya Nias dalam Novel Manusia Langit karya J.A Sonjaya



Esai Sosiologi Sastra
Budaya Nias dalam Novel Manusia Langit karya J.A Sonjaya
Oleh Noviana Windri Rahmawati

Secara intitusional objek kajian sosiologi dan satra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Perbedaannya, apabila sosiolog melukis kehidupan manusia dan masyarakat melalui analisis ilmiah dan objektif, sastrawan mengungkapkannya melalui emosi, secara subjektif dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas (Ratna 2013: 4).
Sosiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu kata Socius dan Logos,Socius artinya kawan atau teman dan Logos berarti kata atau berbicara. Menurut bapak Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahanperubahan sosial. Sapardi Djoko Damono juga menjelaskan bahwa pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan itu disebut sosiologi sastra dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian digunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang berada di luar sana (Dalam Dewi 2013:4-5).
Karya sastra merupakan gambaran kehidupan hasil rekaan seseorang yang seringkali menghadirkan kehidupan sosial diwarnai oleh sikap, latar belakang dan keyakinan pengarang. Sebagai salah satu karya sastra, novel memegang peranan penting dalam memberikan pandangan untuk menyikapi hidup secara artistic imajinatif. Hal ini memungkinkan karena persoalan yang dibicarakan dalam novel adalah persoalan tentang nilai sosial kehidupan (Dalam Dewi, 2013: 4).

Novel merupakan salah satu ragam prosa di samping cerpen dan roman. Novel adalah prosa yang panjang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun (Sardjiman, 1990 dalam Murpratama, 2012:4). Berkaitan dengan hal itu dalam novel Manusia Langit yang merupakan sebuah novel etnografis yaitu kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik tentang adat istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi dan bahasa, pengarang mencoba menguraikan kehidupan sosial masyarakat pulau Nias dengan tokoh utama yaitu Mahendra sebagai seorang arkeolog.

Aspek sosial adalah suatu tindakan sosial yang digunakan untuk menghadapi masalah sosial. Masalah sosial ini timbul sebagai akibat dari hubungannya dengan sesama manusia lainnya dan akibat tingkah lakunya. Masalah sosial ini tidaklah sama antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain karena adanya perbedaan dalam tingkat perkembangan dan kebudayaannya, sifat kependudukannya, dan keadaan lingkungan alamnya (Soelaiman, 1998 dalam Murpratama, 2012:6).

Penulis menggunakan novel Manusia Langit  karya J.A Sonjaya yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat pulau Nias sebagai bahan untuk analisis aspek sosial yaitu aspek keagamaan, budaya, politik, pendidikan, ekonomi, dan aspek kependudukan. Nias merupakan sebuah pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Sumatra. Pulau tersebut dihuni oleh mayoritas suku Nias (Ono Hina) yang masih memiliki budaya megalitik (www.wikipedia.com diakses pada 30 Mei 2016).  Masih adanya budaya megalitik di pulau Nias ditunjukkan oleh kutipan cerita sebagai berikut.
Aku tidak pernah mengerti mengapa batu yang kalah oleh air itu banyak dijadikan media pemujaan oleh orang Nias. Batu tersebut biasanya dibuat untuk menhir, dolmen, altar pemujaan, patung leluhur, fondasi bangunan adat, dan banyak lagi (hal. 95)
Setiap perempuan di atas tujuh tahun, sehabis mandi dan mencuci di sungai, selalu pulang membawa batu dan ditaruh di halaman rumah. Itu dilakukan setiap hari. Jika batu-batu rumah telah menggunung, para lelaki dewasa mulai menatanya sebagai fondasi rumah, meninggikan jalan, membuat benteng. Maka lama-kelamaan terbentuklah sebuah pemukiman didominasi oleh batu (hal. 95)

Novel ini menceritakan tentang Mahendra, seorang arkeolog muda yang berusaha melepaskan diri dari kungkungan peradaban kampus. Ia kabur ke Banuaha, sebuah kampung di pedalaman Pulau Nias. Banuaha memiliki jarak lebih-kurang 14 km yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki menyebrangi beberapa sungai dan naik-turun bukit. Jarak tersebut bisa ditempuh empat jam atau bisa pula dua hari satu malam jika sungai tidak banjir. Mahendra pernah menjadi dosen dulu. Saat itu dia jatuh cinta kedapa mahasiswinya yang berdarah arab, Yasmin. Mereka berdua berpacaran. Hubungan mereka tidak direstui dan akhirnya Yamin Hamil dan dipaksa menggugurkan janinya. Yasmin menolak dan dia nekat bunuh diri. Yasmin melakukannya untuk menjaga nama baik dan harga diri Mahendra sebagai Dosen. Itulah alasan mengapa Mahendra kemudia pergi ke Pulau Nias. Selain untuk melakukan penelitian dia juga ingin melupakan masalahnya bersama Yasmin.
Mahendra yang berkeinginan menjadi orang Banuaha harus mengadakan pesta besar dan membayar sekitar dua puluh ekor babi untuk pengukuhan namanya dan meresmikan bahwa dia resmi menjadi suku Banuaha.
Mahendra kemudian jatuh cinta dengan Saita sepupu Ama Budi. Sayangnya Saita sudah dijodohkan oleh keluarganya dengan seorang lelaki bernama Arofosi. Akhirnya Saita nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Namun untuk menutupi kematian Saita, Sayani membakar diri dengan jasad Saita. Atas perintah Ama Budi, Mahendra kemudian memutuskan kembali ke Yogjakarta untuk menghindari kekacauan di kampungnya. Dalam perjalanan pulang ke Yogja, kapal yang Mahendra tumpangi mengalami kecelakaan karena badai dan akhirnya Mahendra tewas meskipun awalnya dia berhasil selamat.

Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut Fondrako yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Disamping itu orang Nias juga menganal istilah kasta. Dimana untuk mencapai tingkatan kasta tertinggi seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. Dalam owasa, setiap orang berusaha “saling mengalahkan”, misalnya martabat akan terangkat oleh semakin besar jumlah babi yang disediakan; dagingnya kemudian akan dibagikan di pesta kepada masyarakat sesuai peringkat dan golongan, pemberian daging juga menujukan rasa hormat pada tamu. Pemberian daging pada owasa juga mengandung unsur suci karena orang Nias “menganggap diri ” sebagai babi-babi para dewa, sehingga kurban babi melambangkan kurban manusia. Dengan Kata lain, pamor seseorang tidak diukur dari jumlah kekayaan yang dihimpun, tetapi oleh kemampuannya menghimpun kekayaan untuk dibagikan. (Dalam Bago, 2012) Selain aspek kebudayaan tentang hokum adat sebagai berikut.
“adat sudah menggariskan bahwa hanya mereka yang sudah menjalankan adat, menjalankan pesta-pesta, yang didengar ucapannya di kampung” (hal.1 01)
“keluarga dan kerabatku akhirnya mendorong aku untuk membuat pesta. Aku memotong 30 ekor babi untuk pengukuhan statusku sebagai kepala desa. Tetapi tetap saja suaraku tidak didengar.” (2010: 101)
“Mangosawa, pesta tertinggi. Dan itu sangat berat.” (hal. 101)
“ya, demi adat aku melakukannya, tapi butuh tiga tahun sejak menjadi kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya. Ratusan ekor babi dan puluhan gram emas dikorbankan, berkarung-karung beras direlakan untuk menjamu khalayak yang datang ke pesta selama tujuh hari tujuh malam.” (hal. 101)

Pemberian salam kepada oleh Suku Nias sesama sangat tinggi nilainya terhadap satu dengan yang lain. Bila seseorang tidak bersapaan atau memberi salam kepada yang lain, maka diantara kedua belah pihak sudah terjadi disintegrasi sosial yang mungkin disebabkan oleh sifat, gaya, cara jalan, tutur bahasa, cara berpakaian atau penataan rambutnya yang kurang diterima oleh kebanyakan orang. Jika sifat di atas tidak ada maka relasi mereka menjadi lebih akrab sehingga setiap bertemu selalu menyapa dengan ucapan “Ya’ahowu” (salam khas Nias), “sauhagolo” untuk ucapan terima kasih.
 “ya’ahowu!” kembali sambutan salam keluar dari mulut para siswa serempak dengan logat agak aneh (hal.82)
“sauhagolo, Ama!” aku berterima kasih kepada pemimpin sekolah itu. (hal. 125)
  
Agama Suku Nias beragam kepercayaan atau keyakinan, di antaranya kepercayaan kepada dewa pencipta, dewa atas dan dewa bawah semesta alam, kepercayaan kepada kekuatan gaib dan roh halus, kepercayaan kepada kuasa arwah nenek moyang, kepercayaan kepada kekuatan alam dan kesetiaan kepada pola tradisi. Kepercayaan ini dibuat dalam wujud yang bisa kelihatan dan diraba seperti patung, mökö-mökö, pohon, sungai, angin, angin, hewan dan manusia. Sebelum masuk Injil di Pulau Nias, agama kepercayaan Suku Nias adalah fanömba adu yang disebut Pelebegu.  Lowalangi adalah nama yang dipakai orang Kristen khususnya Suku Nias untuk penyebutan nama Allah saat ini. Pada masa sekarang sebagian besar orang Nias sudah memeluk agama Kristen dan sedikit Islam (Dalam Fudirman, 2012).
“Benar abangku tidak mau mengikuti Cara adat. Sejak kecil ia sangat rajin ke gereja. Karena taat agama, makanya ia mengikuti aturan gereja untuk tidak membayar mas kawin sesuai adat. ….” (hal. 69)
Mendengar aku berteriak seperti itu, ia cepat-cepat masuk ke dalam, mengambil injil dan kain putih yang berisi entah apa. (hal. 113)
 “orang gereja yang mengajarkan kami mengubur seperti ini” (hal. 118)
Aku sekarang mengerti mengapa Bang Budi hanya mau kembali setelah menjadi pendeta karena kedudukan pendeta sama tingginya dengan tetua adat. ( 2010: 126)
Dalam novel ini, mata pencaharian suku Nias adalah berladang.  Mereka bertahan hidup dengan menanam beberapa jenis ubi, cokelat, karet, beberapa menanam padi, nilam. Mereka makan dengan ubi hasil ladang mereka, sesekali mereka makan nasi tetapi hanya ketika ada pesta-pesta besar. Selain itu juga memelihara babi di belakang rumah.
Bau cokelat yang dijemur dan gemuruh air di Sungai Gomo menambah keintimanku dengan kampung megalit yang bersahaja itu. (hal. 97)
Jika sedang tidak musim cokelat, Ama Budi beralih ke pekerjaan menyadap karet. (hal. 98)
Sejak hutan alami diganti menjadi kebun karet, cokelat, dan nilam, mulai sering terjadi banjir. (hal. 133)
Suku Nias di Banuaha juga mengenal pendidikan. Mereka juga menyadari bahwa pendidikan penting untuk anak-anak mereka. Tidak hanya orang tua, anak-anak merekapun menyadari bahwa pendidikan penting untuk bekal mereka di masa depan.
…..aku dengan sangat mudah bisa diterima menjadi guru SMP, menjadi guru relawan, bergabung dengan empat guru relawan lain yang asli Banuaha. (hal. 89)
“kami juga perlu arahan, misalnya bagaimana belajar Bahasa Indonesia, IPS, IPA, Matematika.” Jelas siswa itu lantang. (hal. 86)
Hari itu aku tetap masuk ke sekolah karena sebagian siswa yang berasal bukan dari seberang sungai sudah mulai berdatangan sejak pukul tujuh pagi. Mereka butuh waktu satu sampai dua jam berjalan kaki dari rumahnya hingga tiba di sekolah. (hal. 132)
…… jangan membayangkan siswi-siswi SMP di Banuaha sama usianya seperti siswi-siswi di kota. Di kampong ini usia siswi-siswi SMP bervariasi dari yang berusia 10 tahun hingga 21 tahun. Bahkan beberapa diantaranya sudah menikah dan memiliki anak. (hal. 133)
Suku Nias juga memiliki adat yang mengatur tentang perkawinan seseorang. Adat Nias tidak memberi keleluasaan kepada anak muda untuk memilih pasangan dan mengungkapkannya secara terang-terangan. Memilih jodoh adalah hak orang tua. Di Banuaha perempuan itu dibeli. Di sini ada istilah bὅli niha, kita harus memberikan sejumlah harta kepada pihak perempuan Sebelum menikah dengan gadis Nias, sebaiknya seseorang mempertimbangkannya dengan matang. Kalau tidak, bisa jadi seumur hidup harus bekerja ekstra keras untuk melunasi hutang boli niha. Pihak calon mempelai laki-laki bisa membayar uang jujuran sebanyak dua pertiganya dulu. Istilahnya, solaya iraono (kawin gantung). Kawin gantung adalah perempuan bisa dibeli sejak dia kecil dengan membayar 2/3-nya dulu. Setelah dibayar dua pertiganya, anak perempuan itu akan dibawa ke rumah pihak laki-laki. Setelah dewasa, si anak perempuan akan dikawin. Tujuan kawin gantung adalah untuk membantu orangtua laki-laki karena anak perempuan itu bisa bekerja sebagai pembantu. Perhitungan membeli perempuan dilakukan dengan menggunakan potongan daun pucuk kelapa (bulu nohi safusi) di atas tikar. Yang melakukan penghitungan pihak keluarga perempuan. Jika si gadis dari keluarga biasa dilamar seorang dosen atau guru, maka ada perhitungan-perhitungan biaya yang harus ia penuhi. Ada biaya untung masing-masing anggota keluarga dengan perhitungan tertentu. Yang tak kalah mengagetkan, si calon suami bisa dikenakan biaya untuk hal-hal yang sangat pribadi. Misalnya, pengesahan untuk tidur satu kamar dengan calon istri (fasiawo) sebanyak delapan alisi (ukuran besar seekor babi) babi, atau biaya memegang buah dada pengantin perempuan (folokhombalonora) sebanyak delapan alisi babi.
Setelah dibayar 2/3-nya anak perempuan itu dibawa ke rumah pihak lelaki, yang kelak jika sudah dewasa akan dikawinkan. Tujuan dari kawin gantung iniuntuk membantu orang tua lelaki karena anak perempuan itu bisa bekerja seperti pembantu. Selain itu, solaya iraono dilakukan untuk alas an mengikat hubungan. Jika selama kawin gantung itu calon suami meninggal,anak perempuan itu bisa diperistri oleh saudara kandung calon suami atau juga diperistri oleh calon bapak mertuanya.” (hal. 140)
“Perhitungan pertama yang harus dikeluarkan adalah bobojiraha atau biaya pertunangan sebanyak enam atau 6 x 5 alisi babi yang harus diserahkan kepada orang tua perempuan. Itu kira-kira 12 ekor babi tanggung. Selain itu orang tua perempuan juga harus diberi gari/balӧja’a atau emas sebanyak 60 ketip.” (hal. 142)
“untuk ono zebua ono tetalu sebanyak 2 x 5 alisi babi. Ono zebua sebanyak 3 x 5 alisi babi. Ayagawe atau untuk nenek sebanyak 8 alisi babi. Ayacua atau untuk kakek sebanyak 3 x 5 alisi babi. Bawi wanӧrӧ atau babi yang dibawa ketika menengok calon pengantin perempuan sebanyak 5 alisi babi. Tali gerus atau istri kedua ayah perempuan sebanyak 8 alisi babi.” (hal.  142)
“nifugo atau harga kain untuk perempuan sebanyak 5 alisi babi. Untuk tidur dengan calon istri untuk pertama kali harus membayar fosiawӧ jumlahnya 8 alisi babi. Folokhӧmbalӧnara atau bayaran untuk memegang buah dada pengantin perempuan sebanyak 8 alisi babi.” (hal. 143)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Novel Manusia Langit dan masyarakat Pulau Nias memiliki hubungan dengan kenyataan yang ada di dalam masyarakat suku Nias. Hal ini tampak dalam banyak aspek budaya atau tradisi yang ada di dalam novel Manusia Langit. Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Aspek budaya tersebut diantaranya budaya kehidupan suku Nias yang masih megalitikum, hukum adat, mata pencaharian, agama/religius, budaya yang mengatur perkawinan yang hingga saat ini masih mereka jalankan. Budaya tentang kehidupan suku Nias yang masih megalitikum. Suku Nias yang masih menggunakan batu sebagai bahan utama dalam membuat rumah adat meraka, pemujaan roh, menhir, dolmen, patung leluhur dan masih banyak lagi. Mata pencaharian suku Nias adalah berladang. Mereka bertahan hidup dengan menanam beberapa jenis ubi, cokelat, karet, beberapa menanam padi, nilam. Tentang hukum adat suku Nias yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahir hingga kematian.  Budaya Nias yang juga mengenal kasta. Jika seseorang ingin mencapai tingkatan tertinggi harus mampu mengadakan pesta besar selama berhari-hari dan mengundang ribuan orang. Ratusan babi, ribuan kilo beras bahkan emas harus siap dikorbankan. Budaya memberikan salam kepada sesame suku Nias juga diwajibkan jika tidak maka akan terjadi disintegrasi sosial. Suku Nias mempunyai budaya yang beragam kepercayaan atau keyakinan, di antaranya kepercayaan kepada dewa pencipta, dewa atas dan dewa bawah semesta alam, kepercayaan kepada kekuatan gaib dan roh halus, kepercayaan kepada kuasa arwah nenek moyang, kepercayaan kepada kekuatan alam dan kesetiaan kepada pola tradisi. Namun saat ini mayoritas mereka adalah pemeluk agama Kristen.  Juga ada budaya yang mengatur tentang perkawinan dimana memilih jodoh adalah hak orang tua, harus membayar jujuran sesuai hitungan sesuai kesepakatan dari kedua belah pihak, harus membayar setiap anggotan keluarga pihak perempuan dengan babi, harus membayar dengan babi kepada pengantin wanita ketika hendak melakukan hubungan suami istri untuk yang pertama kali saja. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa novel Manusia Langit  memenuhi kajian sosiologi sastra.






Daftar Pustaka
Bago, Yulinus. 2012. Kehidupan dalam Masyarakat Nias. Tersedia: http://batu-malang.blogspot.com/2012/02/kehidupan-dalam-masyarakat-nias.html?m=1 (diakses pada 10 Juni 2016)
Fudirman. 2015. Agama Suku Nias Kuno. Tersedia: http://www.kompasiana.com/fudirman_zebua1989/agama-suku-nias-kuno_5555b00c6523bd732fa4a689. (diakses pada 10 Juni 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages