Gung Tunik, 8 Tahun Lawan Kanker Payudara
Sabtu (9/2/2019) lalu saya berkesempatan berbincang dengan salah satu penderita kanker payudara yang saat ini sudah sembuh dari sakit yang ia derita yang saya temui dalam seminar "Bahagia Dapat Meningkatkan Kualitas Kesehatan Bagu Penyitas Kanker" yang digelar dalam rangka memeringati Hari Kanker Sedunia 4 Februari di Nikki Metting Center, Denpasar, Bali.
Gusti Putu Ary Ruthini (44) atau Gung Tunik sapaan akrabnya adalah seorang ibu rumah tangga memiliki postur tubuh yang tinggi dan gempal.
Dulu, saat berumur 36 tahun ia divonis mengidap kanker payudara stadium 2 oleh dokter.
Ia menderita kanker payudara selama 8 tahun dan
Perbincangan kami berlangsung sekitar 40 menit Gung Tunik bercerita awal mulanya ia menderita kanker payudara, menjalani pengobatan radioterapi dan kemoterapi hingga akhirnya ia sembuh dari penyakit yang mengancam nyawanya.
1. Kapan awal divonis menderita kanker payudara oleh dokter?
Tahun 2011 saya divonis kanker payudara stadium 2. Sudah kemoterapi 6 kali, radioterapi 33 kali, semua perawatan sudah saya lalui. Kalau menurut dokter belum menular kemana-mana. Jadi bisa dibilang aman untuk saat ini.
2. Bagaimana awal mengetahui menderita kanker payudara?
Waktu itu sebenarnya saya tidak sengaja pegang payudara itu ternyata ada benjolan di payudara kanan atas. Langsung saya periksakan di cek PA (Page Authority) ternyata kanker.
Saat menemukan benjolan itu saya cuma bilang oke ada benjolan ya Tuhan, terima kasih. Di otak saya cuma bilang terima kasih Tuhan saya dikasih kenyataan seperti ini.
Karena waktu ini kakak saya juga menemukan benjolan di payudara tapi dia ketakutan untuk berobat dan divonis dokter ternyata juga tumor. Kemudian dia lumayan stress. Jadi melihat kakak saya seperti itu, saya juga menemukan lebih dini ya saya terima saja.
3. Seberapa besar benjolan yang ditemukan di payudara?
Benjolannya tidak terlihat dan tidak menonjol kepermukaan itu tidak ada. Benjolannya masih kecil, sebesar tutup air mineral itu lebih kecil sedikit. Tapi sudah kanker sudah ganas.
Benjolan seperti itu memang harus ditekan keras baru terasa. Biasanya orang itu ngeh taunya kalau itu sudah menonjol keluar dan ada nanahnya sudah sakit baru tau.
Biasanya sering seperti sekarang itu dihimbau untuk periksa payudara sendiri (SADARI) untuk memegang payudara sendiri 10 hari setelah menstruasi apakah ada benjolan, apakah ada perbedaan antara payudara kiri dan kanan karena benjolannya memang tidak menonjol.
4. Bagaimana reaksi anda saat divonis menderita kanker payudara?
Waktu itu saya mindsetnya udah nyiapin ya pas udah ketahuan dokter dan bilang ada benjolan dan harus di cek PA. Mindset saya kalau tidak ganas tinggal operasi dicabut diangkat dan selesai. Tapi kalau ganas harus kemoterapi dan lainnya ya sudah disiapkan dari awal mentalnya jadi tidak terlalu shock juga.
5. Bagaimana dengan respon keluarga anda?
Kalau keluarga, anak-anak kan saat itu masih kecil. Jadi dia tidak terlalu ngeh ya tapi kalau suami ya lumayan shock. Karena suami melihat saya yang tidak terlalu terpuruk jadi tidak terlalu khawatir.
6. Apakah saat divonis kanker payudara anda mengalami titik terendah dalam hidup?
Tidak sampai mengalami titik terendah. Tetapi saya harus siap dengan ini kalaupun mati tidak harus sakit dengan penyakit ini. Kalau Tuhan mau kita meninggal ya tidak dengan penyakit kanker. Ya saya menikmati aja sih waktu itu. Saya jalani dengan ikhlas saja.
7. Bagaimana anda menjalani pengobatan dari radioterapi ataupun kemoterapi?
Efek kemoterapi memang lumayan ya buat kondisi fisik tidak nyaman kalau dari kanker yang di badan tidak sakit payudara saya juga tidak sakit bekas operasi juga tidak terlalu sakit. Tapi obat kemoterapi yang efeknya lumayan. Jadi saya sempat gundul, muntah-muntah juga, lemes tapi cuma 3-4 hari setelah itu aktivitas lagi. 3 minggu sekali kemoterapi lagi sebanyak 6 kali kemoterapi.
Karena efek kemoterapi itu banyak ada drop ada segala macam. Karena saya juga tidak mau setelah kemoterapi kelamaan di rumah sakit jadi memaksa diri untuk mau makan. Saya sendiri yang memaksa untuk sehat. Kalau makan selalu muntah. Muntah sekali saya paksa untuk makan 2 kali. Saya seperti ngobrol sama diri sendiri kamu atau saya yang sakit.
Kamu atau saya yang menang, saya ingin menang tidak bisa kamu menang. Sakit seperti ini itu mindset penting. Ternyata kanker itu juga timbul karena tumpukan beban batin. Saya dulu ada masalah dengan bapak saya. Saya tidak direstui menikah, 5 tahun tidak boleh pulang ke rumah padahal rumahnya dekat banget. 1 tahun sebelum nikah saya tidak diajak omong.
5 tahun setelah menikah saya baru boleh pulang setelah bapak meninggal. Meskipun saat itu saya berusaha untuk tidak dendam atau marah, tapi ternyata ada tumpukan kesal, sedih, menyalahkan diri sendiri yang ternyata itu menjadi kanker. Tahun 2000 saya menikah, tahun 2011 saya divonis kanker.
8. Berapa biaya pengobatan kanker payudara anda saat itu?
Saat itu belum ada BPJS, saat itu kalau radioterapi Rp 40 juta, kalau kemoterapi dengan menginap Rp 6 juta/3 minggu sekali. Sebulan setelah kemoterapi saya harus ke Jakarta untuk radioterapi.
Setelah selesai kemoterapi awal tahun 2012 itu saya konsumsi obat setiap hari selama 5 tahun karena hormon saya plus. Cek lab setiap bulan. Tahun kedua cek lab 3 bulan sekali. Tahun ketiga cek lab 6 bulan sekali. Sekarang cek lab setahun sekali.
9. Apa motivasi terbesar untuk sembuh dari kanker?
Yang ada di otak saya waktu itu cuma kalau memang hidup saya harus dicabut yasudah. Kanker itu tidak membuat kita mati kalau kita mau. Waktu itu saya membaca sebuah buku yang bilang kalau mau sehat ya pikirkan sehat kalau kamu haya kamu harus pikirkan kaya. Jadi motivasi saya waktu itu ya kalau mau sehat dari kamu. Sehat itu kita yang buat.
10. Apa motivasi anda kepada penderita kanker yang lainnya?
Sehat itu dari kita. Dokter itu hanya membantu. Kalau mau sehat harus merubah dari diri sendiri. Ubah mindset. Tetap positif dan ikhlas menjalani.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar