Filsafat Bahasa, Filsafat Linguistik, Pandangan Frege tentang makna, Karya russel dan Wittgenstein, Teori Austine tentang tindak tutur - Mininewspaper

Breaking News

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Sabtu, 23 April 2016

Filsafat Bahasa, Filsafat Linguistik, Pandangan Frege tentang makna, Karya russel dan Wittgenstein, Teori Austine tentang tindak tutur



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Sepanjang sejarah peradaban manusia, filsafat telah menjadi sebuah ilmu sebagai dasar pemikiran yang mendapat perhatian sangat dalam karena filsafat memberikan dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Telah berabad-abad lamanya ilmu pengetahuan dikaji dan berkembang sesuai dengan filsafat ilmu itu sendiri serta memberi perhatian terhadap kehidupan manusia. Faktor-faktor tentang perkembangan ilmu filsafat ini tentu memberikan pengaruh atau kontribusi yang signifikan kepada berbagai bidang ilmu lainnya termasuk filsafat bahasa. Filsafat bahasa selalu dipahami pada dua perspektif yang berbeda, yaitu pertama sebagai alat analisis konsep-konsep, kedua sebagai kajian tentang materi bahasa yang dianalisis. Bentuk bahasa secara umum direpresentasikan oleh tata bahasa, sedangkan makna dibahas secara mendalam dalam kajian semantik. Beberapa filsuf pada zaman Yunani seperti Plato memberikan gambaran yang jelas terhadap bentuk bahasa, yakni onoma dan rhemata. Onoma berfungsi sebagai nomina atau subjek dan rhemata berfungsi sebagai adverba atau predikat. Dalam dunia pengajaran bahasa, filsafat juga memberikan jalan yang sangat luas dimulai dari teori-teori tentang pemerolehan bahasa (language aquisation device) baik berdasarkan pandangan behaviorisme dan kognitivisme. Secara praktis dalam merepresentasikan sebuah pemikiran yang logis (logos) berpedoman pada teori induktif dan deduktif. Deduktif berpedoman pada aliran rasionalisme dengan bertitik tolak dari sesuatu yang umum kepada yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat kita lihat bahwa filsafat dapat memberikan kontribusi atau nuansa yang positif terhadap perkembangan bahasa baik secara teoritis maupun praktis.

1.2  Rumusan Masalah
-          Apa yang dimaksud dengan filsafat bahasa?
-          Apa yang dimaksud dengan filsafat linguistik?
-          Bagaimana pandangan Frege tentang makna?
-          Apa karya Rusel dan Wittgenstein?
-          Bagaimana teori Austine tentang tindak tutur?
1.3  Tujuan
-          Untuk mengetahui filsafat bahasa.
-          Untuk mengetahui filsafat linguistik.
-          Untuk mengetahui pandangan Frege tentang makna.
-          Untuk mengetahui pandangan Rusel dan Wittgenstein.
-          Untuk mengetahui teori Austine tantang tindak tutur.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Filsafat Bahasa
Filsafat berasal dari bahasa Yunani philein “mencintai” dan Sophia “kebijaksanaan’ pengetahuan”. Dalam pengertiannya yang penuh kata tersebut hanyalah pikiran manusia (man thinking) – pikiran tentang penggeneralisasian ketimbang pengkhususan, mencoba melihat waktu dan keberadaan sesuatu sebagai suatu keseluruhan. Para filosof zaman dahulu memelajari kajian-kajian yang sekarang disebut astronomi (ilmu perbintangan), fisika, atau sejarah alami (natural history), juga kajian tentang logika, etika, dan metafisika, yang sekarang disebut filsafat.Metafisika adalah pembahasa tentang berbagai persoalan abstrak seperti hakikat manusia dan sebab musabab adanya benda. Etika membicarakan tentang benar dan salah.
Terdapat dua metode berpikir berdasarkan pendapat para filosof, yaitu metode induksi dan deduksi. Metode induksi berpangkal pada pendapat para filosoh yang menyatakan bahwa pikiran manusia berpangkal pada benda-benda yang kita lihat, dengar, rasakan, sesuai dengan pengalaman (empiri). Sedangkan metode deduksi menekankan pada hukum umum (general law) yang menaungi kenyataan-kenyataan dunia.
Sejumlah filosof berpendapat bahwa dunia ini seluruhnya terbuat dari sesuatu (barang atau benda, dari materi (matter)). Mereka disebut sebagai kaum materialis. Sedangkan golongan filosof lainnya percaya bahwa dunia ini harus dipandang tidak sebagaimana adanya melainkan kita pahami layaknya pikiran: dunia yang ada dalam pikiran. Mereka ini disebut kaum idealis.
Studi tentang berbagai langkah dan berbagai proses yang terlihat dalam penalaran (reasoning) disebut logika. Penalaran itu ada dua macam, yakni deduktif dan induktif. Jika kita memulai dengan prinsip umum lalu menarik simpulan khusus (spesifik) dari prinsip umum itu, kita menggunakan penalaran deduktif. Sebaliknya jika kita memulai dengan sejumlah fakta lalu menarik simpulan dari fakta-fakta tersebut, maka kita melakukan penalaran induktif.
Etika merupakan cabang filsafat yang berhubungan dengan perilaku manusia dari sudut pandang moral- seperti benar atau salah, bauk atau buruk.Istilah etika berasal dari kata Yunani yang berarti ‘cara’, ’adat’, atau ‘kebiasaan’; sedangkan moral berasal dari kata latin (mos/mores) yang maknanya sama dengan etika.
Apa yang dipaparkan sebelumnya merupakan rumusan tentang filsafat barat. Sebenarnya dari segi sejarah yang lebih dulu muncul adalah filsafat timur. Bedanya, filsafat timur (India dan Tiongkok) terutama mencari hakikat uhbungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhan, sehingga ruang lingkup kajiannya tertuyju pada masalah-masalah yang bersifat kosmos, metafisika, teologi, dan etika. Filsafat barat, di samping mencari jawab atas maslah-masalah mendasar tadi, juga menjawab atas masalah-masalah aktual dalam kehidupan sehari-hari melalui pengembangan ilmu dan teknologi, dan inilah yang menjadi penggerak perkembangan ilmu dan teknologi dunia.
Filsafat atau hasrat kebijaksanaan, menurut C.A. van Peursen, mulai tumbuh ketika manusia mulai bertanya disertai rasa kagum dan rasa heran. Jadi filsafat dimulai dengan bertanya. Faktor lain yang menyebabkan timbulnya filsafat adalah adanya masalah yang dihadapi manusia sepanjang hidupnya. Selain itu adalah akal budi yang merupakan faktor lain kemunculan filsafat.
Kaitan antara filsafat dan ilmu dapat dilihat dari kelahiran keduanya, yaitu sebagai hasil proses kerja akal budi yang mewujud dalam pertanyaan. Menurut C.C. Lewis pada awalnya filsafat mencakupi keseluruhan wilayah belajar segala yang derajatnya lebih tinggi dari membaca, menulis, dan matematika. Tapi pada suatu saat dapat dikatakan bahwa filsafat adalah induknya ilmu. Ilmu yang bernaung di bawah filsafat, kemudian menjadi mandiri dalam zaman modern. Pemisahan ilmu dari filsafat didahului oleh ilmu-ilmu yang tidak langsung mempersoalkan hidup dan kehidupan manusia seperti matematika, astronomi, fisika; kemudian disusul ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Hubungan keduanya juga tampak pada fungsi filsafat. Filsafat memiliki fungsi analitis, yaitu berupaya menjelaskan dan mengkaji metode, hukum, prosedur, kaidah-kaidah teoritis, termasuk penelitian, dan fungsi sintetis (atau spekulatif), yang berupaya membuat dugaan-dugaan rasional dengan melampaui batas-batas fakta-fakta ilmiah untuk menyatukan semua pengalaman manusia ke dalam suatu keseluruhan yang komprehensif dan bermakna.

2.2 Filsafat Linguistik
Masyarakat membutuhkan sarana untuk berkomunikasi, karena dengan berkomunikasi setiap individu dalam masyarakat dapat saling memenuhi kebutuhannya. Perkembangan bahasa sejajar dengan perkembangan kondisi masyarakat itu.
Terdapat pertentangan pendapat antara masing-masing pakar bahasa maupun filosof. Aristoteles menyatakan bahwa bahasa adalah alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan manusia. Pandangan Aristoteles itu bertolak belakang dengan pandangan dua pakar bahasa Edward Sapir dan Benyamin L. Whorf, yang terkenal dengan pandangan hipotesis Sapir-Whorf. Hipotesis ini menyatakan bahwa bahasa ibu kita yang kita kuasai sejak kecil bertindak sebagai kisi-kisi dalam benak kita, yang menghalangi pandangan kita dalam melihat dunia luar ketika menggunakan bahasa.
Selain Sapir dan Whorf, pakar linguistik seperti Leonard Bloomfield tidak sependapat dengan batasan Aristoteles. Bloomfield termasuk pengikut aliran behaviorosme dalam hal psikologi, yang lebih mementingkan struktur daripada makna. Batasan yang diajukan oleh pakar linguistik ini adalah bahasa merupakan sistem lambing bunyi yang bersifat sewenang-wenang, yang dipakai oleh anggota masyarakat untuk berkooperasi dan berinteraksi.
Ferdinand de Saussure membedakan antara bahasa (language) dan tutur (speech), atau antara langue (bahasa) dan parole (tutur). Kalau bahasa itu kita pandang sebagai satuan kaidah maka kita melihatnya sebagai language. Kalau kita memandang bahasa sebagai bunyi-bunyi ujaran maka kita melihatnya sebagai parole. Perbedaan antara bahasa dan tutur menurut Stephen Ullman adalah :
BAHASA
TUTUR
Sandi (kode)
Penyandian(pengenkodean)
Potensial
Diaktualisasikan
Sosial
Individu
Pasti (fixed)
Bebas
Bergerak lamban
Bergerak cepat-singkat
Psikologis
Psikofisik




Terdapat dua kepercayaan mengenai kelahiran bahasa, hipotesis monogenesis dan hipotesis polygenesis. Hipotesis monogenesis menyatakan bahwa semua bahasa di dunia berasal dari satu bahasa induk, yaitu anugerah dari Tuhan. Kemudian pandangan ini ditentang oleh J.G. von Herder yang termasuk ke dalam hipotesis poligenesis. Menurut Jerder, kalau betul bahasa berasal daru Tuhan maka tidak mungkin bahasa itu begitu buruk dan tidak selaras dengan logika, karena Tuhan maha sempurna.
Ada tiga teori yang muncul tentang hal ini, yakni teori behaviorisme yang mengatakan bahwa pemerolehan bahasa anak sangat ditentukan oleh faktor eksternal melalui mekanisme stimulus respon, dengan cara meniru ujaran orang dewasa. Teori lain mengatakan anak sejak lahir memiliki perabot pemerolehan bahasa yang mempu mengilah korpus ujaran menjadi kaidah gramatika, sedangkan teori baru melihat pentingnya faktor internal dan eksternal dalam pemerolehan bahasa.

2.3 Pandangan Frege tentang makna
Filsafat kebahasaan mengadung upaya untuk memecahkan masalah-masalah filosofis dengan cara menganalisis makna kata dan hubungan logis antarkata di dalam bahasa. Filsafat bahasa mengandung upaya untuk unsur-unsur umum dalam bahasa seperti makna, acuan, tindak tutur dan ketidaknalaran. Filsafat bahasa itu merupakan suatu pokok persoalan dalam filsafat; sedangkan filsafat kebahasaan terutama merupakan nama metode filosofis. Bahasan mengenai filsafat bahasa modern dapat kita lihat pada karya pakar filsafat dan matematika terkenal dari Jerman bernama Gottlob Frege. Frege ingin menunjukkan bahwa matematika diturunkan dan ditemukan pada logika. Untuk melihat perkembangan latar belakang dalam perkembangan filsafat bahasa dapat kita lihat dari pandangan Frege.
Temuan tunggal Frege yang paling penting dalam filsafat bahasa adalah pembedaan tentang arti (sense) dan acuan (reference). Dia menjelaskan pembedaan ini berdasarkan persoalan tentang pernyataan keidentikan (identitas). Frege kemudian mengembangkan pembedaan ini ke arah ungkapan predikat dan ke seluruh kalimat. Dia mengatakan di samping mengungkapkan maknanya, ungkapan predikat juga mengacu kepada konsep kalimat (setidaknya kalimat yang memunculkan persoalan kebenaran dan kekeliruan) mengungkapkan pikkran sebagai maknanya dan mempunyai referensi berupa nilai kebenaran (yaitu keadaan bahwa kalimat itu benar atau keadaan kalimat itu salah).
Karya besar setelah Frege dalam filsafat bahasa dilakukan oleh B. Russel pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia I dan dilanjutkan oleh muridnya, L. Wittgenstein, dalam Tractatus Logico-Philosophicus. Keduanya menentang pembedaan makna dan referensi. Menurut mereka, pembedaan itu hanya bisa berlaku pada kasus-kasus sederhana tetapi untuk analisis bahasa yang betul-betul cermat ke dalam bentuk-bentuk yang paling elementer, hubungan antara kata dengan dunia luarnya akan menjadi berbeda dari perhitungan Frege. Menurut Searle, penolakan keduanya tehadap teori makna dan referensi itu merupakan kesalahan besar dan alasan-alasan yang mereka ajukan untuk menolaknya kelihatan lemah.
Setelah menolaknya, keduanya mengembangkan teori tentang bagaimana kata berhubungan dengan dunia luarnya. Russel memulai dengan membahas masalah yang dimunculkan oleh kalimat yang mengandung pemerian (deskripsi) tertentu tanpa ada hubungan (korespondensi) dengan objek.
Dengan nada yang sama dengan Wittgenstein, J.L. Austin menaruh perhatian kepada kelompok ujaran yang tidak dimaksudkan untuk menyatakan benar atau salah. Ujaran ini disebutnya ujaran performatif (yang oleh banyak orang disebut ujaran deklaratif) sebagai lawan ujaran konstatif. Ujaran konstatif, yang oleh banyak filosof disebut pernyataan (statement), mempunyai daya untuk menjadi benar atau salah. Sebaliknya ujaran perfomatif tidak bisa benar atau salah, karena ujaran ini memiliki tugas khusus yaitu dipakai untuk membentuk (perform) tindakan. Searle mengkritik teori Austin dengan menyatakan bahwa ujaran konstatif juga terbukti bisa menjadi tindak tutur (speech act), yaitu melakukan tindak (seperti perfomatif); membuat suatu pernyataan atau memerikan sesuatu sama-sama membentuk tindak tutur, seperti halnya membuat janji atau member perintah. Jadi, apa yang semula dikemukakan sebagai ujaran khusus (performatif) sekarang dimasukkan ke dalam ujaran umum (konstatif) sehingga terbentuk suatu kelas tindak tutur. Austin menyebut semua jenis tindakan tutur ini dengan tindak ilokusuoner (illocotinary act), dan mempertentangkan ini dengan tindak yang melibatkan pencapaian efek (hasil) tertentu terhadap lawan tutur.

2.4 Karya Russel dan Wittgenstein
Karya besar setelah Frege dalam filsafat bahasa dilakukan oleh B.Russel pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia I dan dilanjutkan oleh muridnya Wittgenstein, dalam Tractatus Logico-Philosophicus. Keduanya menentang pembedaan makna dan resensi. Menurut mereka, pembedaan itu hanya berlaku pada kasus-kasus sederhana. Mereka mengembangkan teori tentang bagaimana kata itu berhubungan dengan dunia di luar dirinya. Russel memulai dengan membahas masalah yang dimunculkan oleh kalimat yang mengandung deskripsi tertentu tanpa ada hubungan dengan objek. Perbedaan antara Frege dan Russel itu patut disimak. Kemudian Wittgenstein melanjutkan karya Russel dengan membuat karya Tractatus. Menurutnya, persoalan kontak antara kata dan dunia luar diberikan oleh nama. “Nama” berarti objek. Objek adalah makna dari nama itu. Versi teori gambar tentang makna ini menghadapi banyak kesulitan. Di dalam karya Wittgenstein selanjutnya seperti Philo-sophical Investigation, sepenuhnya dia lepaskan. Salah satu tujuan Tractatus adalah untuk membatasi bidang wacana yang bermakna dan yang tidak bermakna. Pengaruhnya besar sekali pada 1920-an dan 1930-an, terutama pada para penganut aliran positivisme logika, suatu kelompok filsuf yang berorientasi pada sains dan matematika. Mereka mengembangkan kriteria kebermaknaan, prnsip verifikasi yang menyatakan bahwa makna suatu pernyataan adalah pemastiannya, atau jelasnya: semua pernyataan yang bermakna bersifat analitis atau empiris (sintetis).
2.5 Teori Austine tentang tindak tutur
J.L.Austin menaruh perhatian pada kelompok ujaran yang tidak dimaksudkan untuk menyatakan benar atau salah. Ujaran ini disebutnya performatif sebagai lawan dari konstatif. Ujaran konstatif memiliki daya untuk menjadi benar atau salah. Sebaliknya, ujaran performatif tidak bisa benar atau salah, karena ujaran ini memiliki tugas khusus, yaitu dipakai untuk membentuk tindakan.
Menurut Searle, pada periode sebelum perang dunia tadi memang banyak kecerobohan para filosof, kecuali Austin, ketika berbicara tentang penggunaan ungkapan. Semula Austin membedakan antara ujaran yang mengatakan dan ujaran yang melakukan sesuatu. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan ujaran yang tidak berupa tindakan dan ujaran yang berupa tindakan. Namun dalam artikelnya How to do the thing with words, ia mengubah teori aslinya itu. Apa yang semula dikemukakan sebagai ujaran performatif sekarang dimasukan ke dalam ujaran konstatif, sehingga terbentuk suatu kelas tindak tutur. Austin menyebut semua jenis tindak tutur ini dengan tindak ilusioner, dan mempertentangkan ini dengan tindak yang melibatkan pencapaian efek tertentu terhadap pendengar, yang disebutnya tindak perlokusioner.
P.F.Strawson menyoroti dan menambahkan beberapa informasi tentang daya ilokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak lokusioner. Menurut Strawson, Austin membuat perbedaan antara daya ilokusioner dari sebuah ujaran dengan apa yang disebut “makna”. Paparan yang mudah dicerna muncul dari Sumarmo (1989). Dia mengungkapkan, awalnya adalah pandangan kaum positivisme logika yang berpendapat bahwa suatu ujaran hanya mempunyai makna kalau kita dapat menemukan nilai kebenarannya. Wittgenstein (dalam Tractatus, 1921) menolak konsep ini dan mengemukakan bahwa makna suatu ujaran terletak pada pemakaiannya. Meskipun Wittgenstein bertolak dari penggunaan bahasa, yang besar pengaruhnya kemudian bukanlah dia, melainkan Austin.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Filsafat bahasa selalu dipahami pada dua perspektif berbeda, yaitu, pertama, filsafat yang menggunakan bahasa sebagai alat analisis konsep-konsep, dan kedua, filsafat yang mengkaji tentang bahasa sebagai materia yang dianalisis. Kedua pengertian ini berkembang sedemikian rupa menurut sudut pandang filsuf yang berbeda. Temuan tunggal Frege yang paling penting dalam filsafat bahasa adalah perbedaan tentang arti (sence) dan acuan atau referensi (reference). Dia menjelasakan perbedaan ini berdasarkan persoalan tentang pernyataan keidentikan (identitas). J.L.Austin menaruh perhatian pada kelompok ujaran yang tidak dimaksudkan untuk menyatakan benar atau salah. Ujaran ini disebutnya performatif sebagai lawan dari konstatif. Ujaran konstatif memiliki daya untuk menjadi benar atau salah. Sebaliknya, ujaran performatif tidak bisa benar atau salah, karena ujaran ini memiliki tugas khusus, yaitu dipakai untuk membentuk tindakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages