BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sepanjang
sejarah peradaban manusia, filsafat telah menjadi sebuah ilmu sebagai dasar
pemikiran yang mendapat perhatian sangat dalam karena filsafat memberikan dasar
bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Telah berabad-abad lamanya ilmu pengetahuan
dikaji dan berkembang sesuai dengan filsafat ilmu itu sendiri serta memberi
perhatian terhadap kehidupan manusia. Faktor-faktor tentang perkembangan ilmu
filsafat ini tentu memberikan pengaruh atau kontribusi yang signifikan kepada berbagai
bidang ilmu lainnya termasuk filsafat bahasa. Filsafat bahasa selalu dipahami
pada dua perspektif yang berbeda, yaitu pertama sebagai alat analisis
konsep-konsep, kedua sebagai kajian tentang materi bahasa yang dianalisis.
Bentuk bahasa secara umum direpresentasikan oleh tata bahasa, sedangkan makna
dibahas secara mendalam dalam kajian semantik. Beberapa filsuf pada zaman
Yunani seperti Plato memberikan gambaran yang jelas terhadap bentuk bahasa,
yakni onoma dan rhemata. Onoma berfungsi sebagai nomina atau subjek dan rhemata
berfungsi sebagai adverba atau predikat. Dalam dunia pengajaran bahasa,
filsafat juga memberikan jalan yang sangat luas dimulai dari teori-teori
tentang pemerolehan bahasa (language aquisation device) baik berdasarkan
pandangan behaviorisme dan kognitivisme. Secara praktis dalam merepresentasikan
sebuah pemikiran yang logis (logos) berpedoman pada teori induktif dan
deduktif. Deduktif berpedoman pada aliran rasionalisme dengan bertitik tolak
dari sesuatu yang umum kepada yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat kita
lihat bahwa filsafat dapat memberikan kontribusi atau nuansa yang positif
terhadap perkembangan bahasa baik secara teoritis maupun praktis.
1.2 Rumusan
Masalah
-
Apa yang dimaksud dengan filsafat
bahasa?
-
Apa yang dimaksud dengan filsafat
linguistik?
-
Bagaimana pandangan Frege tentang makna?
-
Apa karya Rusel dan Wittgenstein?
-
Bagaimana teori Austine tentang tindak
tutur?
1.3 Tujuan
-
Untuk mengetahui filsafat bahasa.
-
Untuk mengetahui filsafat linguistik.
-
Untuk mengetahui pandangan Frege tentang
makna.
-
Untuk mengetahui pandangan Rusel dan Wittgenstein.
-
Untuk mengetahui teori Austine tantang
tindak tutur.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Filsafat Bahasa
Filsafat berasal dari bahasa Yunani philein “mencintai”
dan Sophia “kebijaksanaan’ pengetahuan”. Dalam pengertiannya
yang penuh kata tersebut hanyalah pikiran manusia (man thinking) –
pikiran tentang penggeneralisasian ketimbang pengkhususan, mencoba melihat
waktu dan keberadaan sesuatu sebagai suatu keseluruhan. Para filosof zaman dahulu
memelajari kajian-kajian yang sekarang disebut astronomi (ilmu perbintangan),
fisika, atau sejarah alami (natural history), juga kajian tentang
logika, etika, dan metafisika, yang sekarang disebut filsafat.Metafisika adalah
pembahasa tentang berbagai persoalan abstrak seperti hakikat manusia dan sebab
musabab adanya benda. Etika membicarakan tentang benar dan salah.
Terdapat dua metode berpikir berdasarkan pendapat para filosof, yaitu
metode induksi dan deduksi. Metode induksi berpangkal pada pendapat para
filosoh yang menyatakan bahwa pikiran manusia berpangkal pada benda-benda yang
kita lihat, dengar, rasakan, sesuai dengan pengalaman (empiri). Sedangkan
metode deduksi menekankan pada hukum umum (general law) yang menaungi
kenyataan-kenyataan dunia.
Sejumlah filosof berpendapat bahwa dunia ini seluruhnya terbuat dari
sesuatu (barang atau benda, dari materi (matter)). Mereka disebut
sebagai kaum materialis. Sedangkan golongan filosof lainnya percaya bahwa dunia
ini harus dipandang tidak sebagaimana adanya melainkan kita pahami layaknya
pikiran: dunia yang ada dalam pikiran. Mereka ini disebut kaum idealis.
Studi tentang berbagai langkah dan berbagai proses yang terlihat dalam
penalaran (reasoning) disebut logika. Penalaran itu ada dua macam,
yakni deduktif dan induktif. Jika kita memulai
dengan prinsip umum lalu menarik simpulan khusus (spesifik) dari prinsip umum
itu, kita menggunakan penalaran deduktif. Sebaliknya jika kita memulai dengan
sejumlah fakta lalu menarik simpulan dari fakta-fakta tersebut, maka kita
melakukan penalaran induktif.
Etika merupakan cabang filsafat yang berhubungan dengan perilaku manusia
dari sudut pandang moral- seperti benar atau salah, bauk atau buruk.Istilah
etika berasal dari kata Yunani yang berarti ‘cara’, ’adat’, atau ‘kebiasaan’;
sedangkan moral berasal dari kata latin (mos/mores) yang maknanya sama
dengan etika.
Apa yang dipaparkan sebelumnya merupakan rumusan tentang filsafat barat.
Sebenarnya dari segi sejarah yang lebih dulu muncul adalah filsafat timur.
Bedanya, filsafat timur (India dan Tiongkok) terutama mencari hakikat uhbungan
manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhan, sehingga ruang lingkup
kajiannya tertuyju pada masalah-masalah yang bersifat kosmos, metafisika,
teologi, dan etika. Filsafat barat, di samping mencari jawab atas
maslah-masalah mendasar tadi, juga menjawab atas masalah-masalah aktual dalam
kehidupan sehari-hari melalui pengembangan ilmu dan teknologi, dan inilah yang
menjadi penggerak perkembangan ilmu dan teknologi dunia.
Filsafat atau hasrat kebijaksanaan, menurut C.A. van Peursen, mulai
tumbuh ketika manusia mulai bertanya disertai rasa kagum dan rasa heran. Jadi
filsafat dimulai dengan bertanya. Faktor lain yang menyebabkan timbulnya
filsafat adalah adanya masalah yang dihadapi manusia sepanjang hidupnya. Selain
itu adalah akal budi yang merupakan faktor lain kemunculan filsafat.
Kaitan antara filsafat dan ilmu dapat dilihat dari kelahiran keduanya,
yaitu sebagai hasil proses kerja akal budi yang mewujud dalam pertanyaan.
Menurut C.C. Lewis pada awalnya filsafat mencakupi keseluruhan wilayah belajar
segala yang derajatnya lebih tinggi dari membaca, menulis, dan matematika. Tapi
pada suatu saat dapat dikatakan bahwa filsafat adalah induknya ilmu. Ilmu yang
bernaung di bawah filsafat, kemudian menjadi mandiri dalam zaman modern.
Pemisahan ilmu dari filsafat didahului oleh ilmu-ilmu yang tidak langsung
mempersoalkan hidup dan kehidupan manusia seperti matematika, astronomi,
fisika; kemudian disusul ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Hubungan keduanya juga tampak pada fungsi filsafat. Filsafat memiliki
fungsi analitis, yaitu berupaya menjelaskan dan mengkaji metode, hukum,
prosedur, kaidah-kaidah teoritis, termasuk penelitian, dan fungsi sintetis
(atau spekulatif), yang berupaya membuat dugaan-dugaan rasional dengan
melampaui batas-batas fakta-fakta ilmiah untuk menyatukan semua pengalaman
manusia ke dalam suatu keseluruhan yang komprehensif dan bermakna.
2.2
Filsafat Linguistik
Masyarakat membutuhkan sarana untuk
berkomunikasi, karena dengan berkomunikasi setiap individu dalam masyarakat
dapat saling memenuhi kebutuhannya. Perkembangan bahasa sejajar dengan
perkembangan kondisi masyarakat itu.
Terdapat pertentangan pendapat
antara masing-masing pakar bahasa maupun filosof. Aristoteles menyatakan bahwa
bahasa adalah alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan manusia. Pandangan
Aristoteles itu bertolak belakang dengan pandangan dua pakar bahasa Edward
Sapir dan Benyamin L. Whorf, yang terkenal dengan pandangan hipotesis
Sapir-Whorf. Hipotesis ini menyatakan bahwa bahasa ibu kita yang kita
kuasai sejak kecil bertindak sebagai kisi-kisi dalam benak kita, yang
menghalangi pandangan kita dalam melihat dunia luar ketika menggunakan bahasa.
Selain Sapir dan Whorf, pakar
linguistik seperti Leonard Bloomfield tidak sependapat dengan batasan
Aristoteles. Bloomfield termasuk pengikut aliran behaviorosme dalam
hal psikologi, yang lebih mementingkan struktur daripada makna. Batasan yang
diajukan oleh pakar linguistik ini adalah bahasa merupakan sistem lambing bunyi
yang bersifat sewenang-wenang, yang dipakai oleh anggota masyarakat untuk
berkooperasi dan berinteraksi.
Ferdinand de Saussure membedakan
antara bahasa (language) dan tutur (speech), atau antara langue (bahasa)
dan parole (tutur). Kalau bahasa itu kita pandang sebagai
satuan kaidah maka kita melihatnya sebagai language. Kalau kita
memandang bahasa sebagai bunyi-bunyi ujaran maka kita melihatnya sebagai parole.
Perbedaan antara bahasa dan tutur menurut Stephen Ullman adalah :
BAHASA
|
TUTUR
|
Sandi (kode)
|
Penyandian(pengenkodean)
|
Potensial
|
Diaktualisasikan
|
Sosial
|
Individu
|
Pasti (fixed)
|
Bebas
|
Bergerak lamban
|
Bergerak cepat-singkat
|
Psikologis
|
Psikofisik
|
Terdapat dua kepercayaan mengenai
kelahiran bahasa, hipotesis monogenesis dan hipotesis polygenesis. Hipotesis
monogenesis menyatakan bahwa semua bahasa di dunia berasal dari satu bahasa
induk, yaitu anugerah dari Tuhan. Kemudian pandangan ini ditentang oleh J.G.
von Herder yang termasuk ke dalam hipotesis poligenesis. Menurut Jerder, kalau
betul bahasa berasal daru Tuhan maka tidak mungkin bahasa itu begitu buruk dan
tidak selaras dengan logika, karena Tuhan maha sempurna.
Ada tiga teori yang muncul tentang
hal ini, yakni teori behaviorisme yang mengatakan bahwa pemerolehan bahasa anak
sangat ditentukan oleh faktor eksternal melalui mekanisme stimulus respon,
dengan cara meniru ujaran orang dewasa. Teori lain mengatakan anak sejak lahir
memiliki perabot pemerolehan bahasa yang mempu mengilah korpus ujaran menjadi
kaidah gramatika, sedangkan teori baru melihat pentingnya faktor internal dan
eksternal dalam pemerolehan bahasa.
2.3
Pandangan Frege tentang makna
Filsafat kebahasaan mengadung upaya untuk memecahkan masalah-masalah
filosofis dengan cara menganalisis makna kata dan hubungan logis antarkata di
dalam bahasa. Filsafat bahasa mengandung upaya untuk unsur-unsur umum dalam
bahasa seperti makna, acuan, tindak tutur dan ketidaknalaran. Filsafat bahasa
itu merupakan suatu pokok persoalan dalam filsafat; sedangkan filsafat
kebahasaan terutama merupakan nama metode filosofis. Bahasan mengenai filsafat
bahasa modern dapat kita lihat pada karya pakar filsafat dan matematika
terkenal dari Jerman bernama Gottlob Frege. Frege ingin menunjukkan bahwa
matematika diturunkan dan ditemukan pada logika. Untuk melihat perkembangan
latar belakang dalam perkembangan filsafat bahasa dapat kita lihat dari
pandangan Frege.
Temuan tunggal Frege yang paling penting dalam filsafat bahasa adalah
pembedaan tentang arti (sense)
dan acuan (reference).
Dia menjelaskan pembedaan ini berdasarkan persoalan tentang pernyataan
keidentikan (identitas). Frege kemudian mengembangkan pembedaan ini ke arah
ungkapan predikat dan ke seluruh kalimat. Dia mengatakan di samping
mengungkapkan maknanya, ungkapan predikat juga mengacu kepada konsep kalimat
(setidaknya kalimat yang memunculkan persoalan kebenaran dan kekeliruan)
mengungkapkan pikkran sebagai maknanya dan mempunyai referensi berupa nilai
kebenaran (yaitu keadaan bahwa kalimat itu benar atau keadaan kalimat itu
salah).
Karya besar setelah Frege dalam filsafat bahasa dilakukan oleh B. Russel
pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia I dan dilanjutkan oleh muridnya, L.
Wittgenstein, dalam Tractatus Logico-Philosophicus. Keduanya
menentang pembedaan makna dan referensi. Menurut mereka, pembedaan itu hanya
bisa berlaku pada kasus-kasus sederhana tetapi untuk analisis bahasa yang
betul-betul cermat ke dalam bentuk-bentuk yang paling elementer, hubungan
antara kata dengan dunia luarnya akan menjadi berbeda dari perhitungan Frege.
Menurut Searle, penolakan keduanya tehadap teori makna dan referensi itu
merupakan kesalahan besar dan alasan-alasan yang mereka ajukan untuk menolaknya
kelihatan lemah.
Setelah menolaknya, keduanya mengembangkan teori tentang bagaimana kata
berhubungan dengan dunia luarnya. Russel memulai dengan membahas masalah yang
dimunculkan oleh kalimat yang mengandung pemerian (deskripsi) tertentu tanpa
ada hubungan (korespondensi) dengan objek.
Dengan nada yang sama dengan Wittgenstein, J.L. Austin menaruh perhatian
kepada kelompok ujaran yang tidak dimaksudkan untuk menyatakan benar atau
salah. Ujaran ini disebutnya ujaran performatif (yang oleh banyak orang disebut ujaran deklaratif) sebagai lawan
ujaran konstatif. Ujaran
konstatif, yang oleh banyak filosof disebut pernyataan (statement), mempunyai daya untuk menjadi
benar atau salah. Sebaliknya ujaran perfomatif tidak bisa benar atau salah,
karena ujaran ini memiliki tugas khusus yaitu dipakai untuk membentuk (perform)
tindakan. Searle mengkritik teori Austin dengan menyatakan bahwa ujaran
konstatif juga terbukti bisa menjadi tindak tutur (speech act), yaitu
melakukan tindak (seperti perfomatif); membuat suatu pernyataan atau memerikan
sesuatu sama-sama membentuk tindak tutur, seperti halnya membuat janji atau
member perintah. Jadi, apa yang semula dikemukakan sebagai ujaran khusus
(performatif) sekarang dimasukkan ke dalam ujaran umum (konstatif) sehingga
terbentuk suatu kelas tindak tutur. Austin menyebut semua jenis tindakan tutur
ini dengan tindak ilokusuoner (illocotinary
act), dan mempertentangkan ini dengan tindak yang melibatkan pencapaian
efek (hasil) tertentu terhadap lawan tutur.
2.4
Karya Russel dan Wittgenstein
Karya besar setelah Frege dalam
filsafat bahasa dilakukan oleh B.Russel pada tahun-tahun sebelum Perang
Dunia I dan dilanjutkan oleh muridnya Wittgenstein, dalam Tractatus
Logico-Philosophicus. Keduanya menentang pembedaan makna dan resensi.
Menurut mereka, pembedaan itu hanya berlaku pada kasus-kasus sederhana. Mereka
mengembangkan teori tentang bagaimana kata itu berhubungan dengan dunia di luar
dirinya. Russel memulai dengan membahas masalah yang dimunculkan oleh
kalimat yang mengandung deskripsi tertentu tanpa ada hubungan dengan objek.
Perbedaan antara Frege dan Russel itu patut disimak. Kemudian Wittgenstein
melanjutkan karya Russel dengan membuat karya Tractatus.
Menurutnya, persoalan kontak antara kata dan dunia luar diberikan oleh nama.
“Nama” berarti objek. Objek adalah makna dari nama itu. Versi teori gambar
tentang makna ini menghadapi banyak kesulitan. Di dalam karya Wittgenstein selanjutnya
seperti Philo-sophical Investigation, sepenuhnya dia lepaskan. Salah
satu tujuan Tractatus adalah untuk membatasi bidang wacana yang bermakna
dan yang tidak bermakna. Pengaruhnya besar sekali pada 1920-an dan 1930-an, terutama
pada para penganut aliran positivisme logika, suatu kelompok filsuf yang
berorientasi pada sains dan matematika. Mereka mengembangkan kriteria
kebermaknaan, prnsip verifikasi yang menyatakan bahwa makna suatu pernyataan
adalah pemastiannya, atau jelasnya: semua pernyataan yang bermakna bersifat analitis
atau empiris (sintetis).
2.5
Teori Austine tentang tindak tutur
J.L.Austin menaruh perhatian pada kelompok ujaran yang tidak
dimaksudkan untuk menyatakan benar atau salah. Ujaran ini disebutnya performatif sebagai lawan dari konstatif. Ujaran konstatif memiliki daya untuk menjadi
benar atau salah. Sebaliknya, ujaran performatif
tidak bisa benar atau salah, karena ujaran ini memiliki tugas khusus, yaitu
dipakai untuk membentuk tindakan.
Menurut Searle, pada periode sebelum perang dunia tadi memang
banyak kecerobohan para filosof, kecuali Austin, ketika berbicara
tentang penggunaan ungkapan. Semula Austin membedakan antara ujaran yang
mengatakan dan ujaran yang melakukan sesuatu. Hal ini dimaksudkan untuk
membedakan ujaran yang tidak berupa tindakan dan ujaran yang berupa tindakan.
Namun dalam artikelnya How to do the thing with words, ia mengubah teori
aslinya itu. Apa yang semula dikemukakan sebagai ujaran performatif sekarang dimasukan ke dalam ujaran konstatif, sehingga terbentuk suatu
kelas tindak tutur. Austin menyebut semua jenis tindak tutur ini dengan
tindak ilusioner, dan
mempertentangkan ini dengan tindak yang melibatkan pencapaian efek tertentu
terhadap pendengar, yang disebutnya tindak perlokusioner.
P.F.Strawson menyoroti dan menambahkan beberapa informasi tentang daya ilokusioner, tindak ilokusioner,
dan tindak lokusioner. Menurut Strawson,
Austin membuat perbedaan antara daya
ilokusioner dari sebuah ujaran dengan apa yang disebut “makna”. Paparan
yang mudah dicerna muncul dari Sumarmo (1989). Dia mengungkapkan,
awalnya adalah pandangan kaum positivisme logika yang berpendapat bahwa suatu
ujaran hanya mempunyai makna kalau kita dapat menemukan nilai kebenarannya. Wittgenstein
(dalam Tractatus, 1921) menolak konsep ini dan mengemukakan bahwa
makna suatu ujaran terletak pada pemakaiannya. Meskipun Wittgenstein
bertolak dari penggunaan bahasa, yang besar pengaruhnya kemudian bukanlah dia,
melainkan Austin.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Filsafat
bahasa selalu dipahami pada dua perspektif berbeda, yaitu, pertama, filsafat
yang menggunakan bahasa sebagai alat analisis konsep-konsep, dan kedua,
filsafat yang mengkaji tentang bahasa sebagai materia yang dianalisis. Kedua
pengertian ini berkembang sedemikian rupa menurut sudut pandang filsuf yang
berbeda. Temuan tunggal Frege yang paling penting dalam filsafat bahasa
adalah perbedaan tentang arti (sence) dan acuan atau referensi (reference). Dia
menjelasakan perbedaan ini berdasarkan persoalan tentang pernyataan keidentikan
(identitas). J.L.Austin menaruh perhatian pada kelompok ujaran yang
tidak dimaksudkan untuk menyatakan benar atau salah. Ujaran ini disebutnya performatif sebagai lawan dari konstatif. Ujaran konstatif memiliki daya untuk menjadi
benar atau salah. Sebaliknya, ujaran performatif
tidak bisa benar atau salah, karena ujaran ini memiliki tugas khusus, yaitu
dipakai untuk membentuk tindakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar