November
2013
Dimana
kini pelukanmu tidak lagi berarti. Aku masih mengingat betul bagaimana kita
memulai hubungan. Bagaimana penghianatan yang pertama kali kita lakukan. Kita
yang kini tidak lagi menjadi kita yang dulu. Bagaimana kita berhasil melalui
semua pertentangan dari berbagai serangan sudut pandang. Bagaimana ciuman
pertama kita. Bagaimana caramu mencintaiku. Dimana aku lebih suka memanggilmu
Abi daripada Habib. Dan bagaimana cara kita mengakhiri hubungan.
Mengakhiri
hubungan ? cara mengakhiri yang terlalu menyakitkan. Mantan kekasih ? bahkan
aku ragu apakah kamu pantas disebut mantan kekasih. Hubungan yang terlalu
rumit. Butuh waktu cukup lama untuk mengumpulkan keberanian mengatakan hal yang
sebenarnya terjadi padamu, Bi. Apakah kamu pernah merasakan bagaimana perasaan
itu terbagi, Bi ? Disaat kamu menyadari bahwa yang kamu cintai tidak lagi
seperti dulu. Dimana jarak dan pekerjaan memberikan kesempatan kesepian
merenggut segalanya. Dimana kesepian menjadi hal yang mendominansi. Aku masih
mengingat betul bagaimana caramu mempertahankan hubungan yang bisa dikatakan
tidak lagi bisa dipertahankan kata orang. Bukankah cinta itu tidak membebani,
Bi ? bukankah cinta itu menerima ? bukankah cinta itu bahagia ? bukankah cinta
itu terbuka ?
Pernahkah
kamu mencoba menghitung berapa banyak jumlah bintang di langit ? Mustahil bukan
kamu akan menemukan berapa jumlahnya ? Seperti itulah hubungan kita yang tak
kunjung mendapat restu. Kamu tahu bagaimana rasanya jadi aku ? diantara kamu
dan orang tuaku. Jika aku melangkah maju, aku akan meninggalkanmu tepat dimana
kini kamu berdiri. jika aku berbelok arah saat itulah aku menjadi seseorang
yang durhaka dimana sabda orang tua yang aku langkahi. Aku adalah seonggok
benda kerdil yang pada dasarnya memulai hidupku dari selangkangan ibu. Aku
tidak akan menghianati perjuangan malaikat tanpa sayapku, Bi. Sempat aku
berfikir kenapa kita bisa saling mencintai bila pada akhirnya kita tidak di
takdirkan bersama. Pantaskah kita menyalahkan takdir ? takdir bagian apa yang
salah ? seperti cerita tiada akhir.
Kamu
tahu setelah apa yang kita lewati selama ini, Bi ? Aku mulai mencoba membuka
hatiku selain padamu. Aku berhasil. Suka pada pandangan pertama, tentu. Gairah
pada pandangan pertama, Pasti. Jatuh cinta ? aku tidak bisa memastikan apakah
aku jatuh cinta lagi kepada seseorang selain dirimu, Bi. Kamu tahu siapa yang
berhasil mencuri perhatianku ? Dia seorang berandalan. Kita bertemu di suatu
acara tanpa sengaja. Aku adalah teman dari temannya. Kira-kira seperti itulah.
Singkatnya pertemuan pertama selalu meninggalkan kesan manis seperti vanili dan
gulali. Manis. Ketagihan. Bosan.. mudah sekali ditebak akhirnya akan seperti
apa. Ya aku menyukai seorang lelaki berandalan. Berbanding terbalik denganmu.
Kita masih sering mencuri pandang seperti mengintip seseorang dari balik
dinding bambu rapat tapi bercelah. Satu hal lagi yang harus kamu tahu. Aku
mencium aroma tubuh yang berbeda kini. Benar-benar berbeda dengan aroma tubuh
yang aku sering kucium dulu. Ini kali pertama aku resmi menjadi pacar
seorang berandal dimana hubungan kita
sudah tak berkelanjutan cerita. Seperti hukum Newton 1 dimana dikatakan benda
tidak akan pernah berubah jika tidak ada dorongan dari benda lain. Aku
berkeinginan merubahnya menjadi lebih baik, Bi. Tapi bukankah itu akan
menjadikannya buruk menurutmu ? Dimana kita seharusnya menerima sukarela seperti
apa pasangan kita, Bi ? sama seperti aku dan kamu dulu. Kamu tahu aku masih
suka membandingkan dia denganmu. Keparat bukan ?
Dimana
dulu aku yang sering mengatakan cinta itu menerima. Tapi kini aku sedikit
terpaksa menerima. Tapi bukannya dari keterpaksaan itu aku akan menjadi
terbiasa, Bi ? Minggu pertama aku dan dia menjadi pacar hubungan kita merjalan manis
semanis dan membahagiakan. Dia selalu mencariku jika aku tak segera membalas
pesan singkatnya. Minggu kedua mulai aku rasakan dia berbeda. Seperti rasa kopi
yang sudah dingin. Pahit. Tanpa kehangatan yang menagihkan. Beberapa pesan
singkatku dibiarkan begitu saja. Didiemin, dianggurin, bisa jadi dilalerin.
Berbeda sekali denganmu, Bi. Berat sekali kamu tau itu menjalani suatu hubungan
dengan baying-bayang mantan. Hubungan ini berjalan dengan kaki menginjak duri.
Pincang ! kalau kamu bertanya bagaimana hubunganku saat ini aku akan berkata
dusta. Bahagia ? aku akan menjawab pasti ! Dengan memasang ekspresi wajah imut
anak anjing. Hubunganku dengannya berakhir. Bagaimana denganmu ?
Selepas
berakhirnya hubungan kita, aku membuat sebuah tulisan tentang penghianatan
selama kita menjadi sepasang kekasih. Semacam surat. Tapi aku tidak tahu
bagaimana cara menulis surat kepada orang yang telah pergi jauh meninggalkanku.
Terlebih kini kudengar kamu menerima perjodohan dengan seorang wanita Bali. Aku
mendengarkannya dari temanmu. Dan aku juga mendengar kalian akan segera
melangsungkan pernikahan, di Bali. Aku berharap kamu memang benar bahagia
dengan pernikahan tersebut.
Habibi,
saat pernikahanmu berlangsung aku melakukan sebuah perjalanan menuju Pulau
seberang, Bukan Bali. Aku hanya ingin lupa bahwa hari itu adalah hari
pernikahanmu. Tas ransel, jeans, sepatu kets, kaos oblong dan hati yang tidak
karuan yang aku bawa saat itu. Pada tas ranselku aku menaruh undangan
pernikahanmu dan selembar tulisan ini. Pertama aku meminta maaf karena aku
mencintaimu hingga saat ini. Kedua aku meminta maaf aku tidak bisa menghadiri
pernikahanmu. Ketiga aku ingin mengucapkan selamat atas pernikahanmu. Keempat
aku ingin sekali memeluk istrimu. Kelima aku ingin melihat anak-anakmu lahir
kelak apakah mirip kamu atau istrimu. Keenam maaf aku memiliki banyak keinginan
padamu.
Kita
berbanding terbalik pada satu garis lurus pada sudut 90 derajat. Aku dan kamu,
Habibi Surya Wiradmaja. Berbahagialah atas pernikahanmu. Aku sedang melakukan
perjalanan panjang yang bahkan aku sendiri takut menerka akan seperti apa
akhirnya. Aku bukan lagi sebuah rumah tempatmu pulang.
Aku mencintaimu
Ketapang
***
Surat
ini telah berada di tanganku Nesya Alzahra. Tim SAR memberikan surat ini saat
mengevakuasi bangkai kapal yang kau tumpangi. Kau kini diam tak bergerak
terbujur kaku dihadapanku. Aku dan istriku datang ke pemakamanmu. Kapal yang
kau tumpangi tenggelam saat melintasi Selat Sunda karena badai ketika dalam
perjalanan. Tetapi istriku tidak tahu tentang surat ini. Aku merasakan sangat
kehilanganmu, Nes. Kamu menulis tulisan-tulisan itu setiap senja ketika kamu
menunggu kepulanganku di Ketapang. Aku paham betul kebiasaanmu saat itu.
Di dermaga bersebelahan dengan pelabuhan. Nes, aku merindukanmu. Aku memaksa
mencintai istriku, Nes. Cinta bukan lagi surga dunia. Cinta justru musuh dunia.
Kurasa nyaman bersamamu dulu. Hingga saat kujumpai senja yang merah darah
barulah aku sadar mencintai yang masih dihantui masa lalu itu percuma.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar