Seperti Hujan
Yang Jatuh di Awal November
Seperti hujan yang jatuh di awal November. Tepat setahun lalu, Aku pulang ke rumah orangtuaku menghilangkan
rindu yang sudah lama menumpuk. Di sepanjang jalan kepulanganku, aku selalu membayangkan akan disambut dengan kehangatan sebuah
keluarga.
Seorang ayah yang menyambut
kedatanganku dengan pelukan hangatnya. Dan ibu yang menyambut kedatanganku
dengan masakan di meja makan yang membuatku selalu ketagihan. Lima jam
perjalanan, aku tiba di rumah. Benar saja, tidak ada sambutan hangat. Yang ada
hanya senyum dan sapa seperti biasanya.
Aku tinggal di rumah bersama
ayahku yang sudah lebih dari 23 tahun kami tinggali. Ibuku? Ia tak berada di
rumah. Ia merantau mencari pundi rupiah untuk menambah perekonomian keluarga.
Memang, aku dilahirkan bukan dari keluarga berada. Kedua orangtuaku harus bekerja
mati-matian hanya agar bisa menyekolahkanku.
Memasuki rumah, hanya ada
rasa dingin. Sepi yang teramat sepi. Di rumah itu, tak pernah ada percakapan
seorang anak perempuan kepada ibunya. Hanya ada percakapan antara anak
perempuan kepada ayahnya. Berat memang tinggal di sebuah rumah hanya ada
seorang ayah.
Sore hari, aku duduk seorang diri di teras
rumah. Sebuah sepeda motor berhenti di depan pagar rumahku. Seorang lelaki paruh
baya dengan jaket kulit warna hitam dengan tas ala orang kantoran menghampiriku.
“Maaf, ayahnya ada?”
tanyanya.
“Tidak ada, Pak. Baru saja
keluar. Ada apa ya?” kataku.
“Saya mau mengantarkan
surat,” jawabnya.
“Surat apa? Bapak dari mana?”
tanyaku mulai penasaran.
“Maaf, adik ini anak kandungnya?”
“Iya. Saya anak kandungnya.
Ada keperluan apa pak?” ucapku.
“Begini, Dik. Ayah adik
mengajukan perceraian di pengadilan agama. Kedatangan saya ke sini bermaksud
untuk mengantarkan surat panggilan untuk ibu adik untuk menghadiri sidang,”
jelasnya sambil menyodorkan sebuah surat.
Aku diam sesaat. Tanganku
gemetar menerima surat yang disodorkannya padaku. Badanku dingin ketika aku membaca
lembar demi lembar surat itu.
“Benar ini, Pak? Saya tidak pernah
diberitahu tentang perceraian ini,” tanyaku sembari menyeka air mata yang sudah
tak bisa aku tahan lagi.
“Maaf, Dik. Memang benar
seperti yang dituliskan di suratnya. Saya tidak tahu apa-apa. Saya hanya ditugaskan
untuk memberikan surat ini,” jawabnya.
Boooom!!!!!!!! Dadaku
dipenuhi dengan perasaan tak menentu. Sakit, marah, dan kecewa bercampur aduk.
Tidak tahu apa yang harus aku perbuat. Menentang atau menerima kenyataan bahwa
kedua orangtuaku akan bercerai di saat aku berusia 23 tahun.
Pendidikan tinggi yang
tinggal beberapa bulan lagi aku selesaikan. Aku bahkan telah menyusun mimpi-mimpiku.
Aku akan bekerja, membagi gajiku dengan orangtuaku, menikah, dan merawat masa
tua orangtuaku bersama suamiku.
Kukubur dalam-dalam mimpiku.
Kupaksa menerima kenyataan. Meski, dalam hati kecil aku selalu berharap ayah
dan ibuku bisa bersatu kembali. Memberikanku kehangatan dari sebuah keluarga
yang tak pernah aku dapat. Sederhananya bisa menikmati makan bersama dalam satu
meja makan, setiap hari.
Kenyataan menyakitkan
berikutnya aku harus terima bahwa orangtuaku mulai meninggalkanku demi pasangan
barunya. Aku tak pernah membenci orangtuaku. Aku hanya membenci orangtuaku
ketika bersama orang asing di kehidupanku. Orang yang tak pernah terlibat dalam
tumbuh kembangku. Orang yang akan selalu aku anggap sebagai parasit.
Setahun belakangan,
keinginan untuk bunuh diri terus terlintas dipikiranku. Sempat berfikir bunuh
diri adalah cara satu-satunya agar orangtuaku bisa kembali bersama.
Namun, aku memutuskan untuk
bertemu tiga orang psikiater. Berkonsultasi apa yang harus aku lakukan. Hidup
dengan menahan kesakitan yang teramat sangat. Atau mengikuti bisikan setan
untuk melakukan bunuh diri.
Aku lelah ketika rindu kebersamaan
ayah dan ibuku hanya bisa menangis. Aku lelah menahan betapa sakitnya melihat
ayah dan ibuku saling membagi cinta. Aku harus berbuat apa?
Seperti Hujan Yang Jatuh di Awal November.
Denpasar, 3 November 2019.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar