Seperti Hujan Yang Jatuh di Awal November - Mininewspaper

Breaking News

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Senin, 16 Desember 2019

Seperti Hujan Yang Jatuh di Awal November


 Seperti Hujan Yang Jatuh di Awal November

Seperti hujan yang jatuh di awal November. Tepat setahun lalu, Aku pulang ke rumah orangtuaku menghilangkan rindu yang sudah lama menumpuk. Di sepanjang jalan kepulanganku, aku selalu  membayangkan akan disambut dengan kehangatan sebuah keluarga.
Seorang ayah yang menyambut kedatanganku dengan pelukan hangatnya. Dan ibu yang menyambut kedatanganku dengan masakan di meja makan yang membuatku selalu ketagihan. Lima jam perjalanan, aku tiba di rumah. Benar saja, tidak ada sambutan hangat. Yang ada hanya senyum dan sapa seperti biasanya.
Aku tinggal di rumah bersama ayahku yang sudah lebih dari 23 tahun kami tinggali. Ibuku? Ia tak berada di rumah. Ia merantau mencari pundi rupiah untuk menambah perekonomian keluarga. Memang, aku dilahirkan bukan dari keluarga berada. Kedua orangtuaku harus bekerja mati-matian hanya agar bisa menyekolahkanku.
Memasuki rumah, hanya ada rasa dingin. Sepi yang teramat sepi. Di rumah itu, tak pernah ada percakapan seorang anak perempuan kepada ibunya. Hanya ada percakapan antara anak perempuan kepada ayahnya. Berat memang tinggal di sebuah rumah hanya ada seorang ayah.
 Sore hari, aku duduk seorang diri di teras rumah. Sebuah sepeda motor berhenti di depan pagar rumahku. Seorang lelaki paruh baya dengan jaket kulit warna hitam dengan tas ala orang kantoran menghampiriku.
“Maaf, ayahnya ada?” tanyanya.
“Tidak ada, Pak. Baru saja keluar. Ada apa ya?” kataku.
“Saya mau mengantarkan surat,” jawabnya.
“Surat apa? Bapak dari mana?” tanyaku mulai penasaran.
“Maaf, adik ini anak kandungnya?”
“Iya. Saya anak kandungnya. Ada keperluan apa pak?” ucapku.
“Begini, Dik. Ayah adik mengajukan perceraian di pengadilan agama. Kedatangan saya ke sini bermaksud untuk mengantarkan surat panggilan untuk ibu adik untuk menghadiri sidang,” jelasnya sambil menyodorkan sebuah surat.
Aku diam sesaat. Tanganku gemetar menerima surat yang disodorkannya padaku. Badanku dingin ketika aku membaca lembar demi lembar surat itu.
“Benar ini, Pak? Saya tidak pernah diberitahu tentang perceraian ini,” tanyaku sembari menyeka air mata yang sudah tak bisa aku tahan lagi.
“Maaf, Dik. Memang benar seperti yang dituliskan di suratnya. Saya tidak tahu apa-apa. Saya hanya ditugaskan untuk memberikan surat ini,” jawabnya.
Boooom!!!!!!!! Dadaku dipenuhi dengan perasaan tak menentu. Sakit, marah, dan kecewa bercampur aduk. Tidak tahu apa yang harus aku perbuat. Menentang atau menerima kenyataan bahwa kedua orangtuaku akan bercerai di saat aku berusia 23 tahun.
Pendidikan tinggi yang tinggal beberapa bulan lagi aku selesaikan. Aku bahkan telah menyusun mimpi-mimpiku. Aku akan bekerja, membagi gajiku dengan orangtuaku, menikah, dan merawat masa tua orangtuaku bersama suamiku.
Kukubur dalam-dalam mimpiku. Kupaksa menerima kenyataan. Meski, dalam hati kecil aku selalu berharap ayah dan ibuku bisa bersatu kembali. Memberikanku kehangatan dari sebuah keluarga yang tak pernah aku dapat. Sederhananya bisa menikmati makan bersama dalam satu meja makan, setiap hari.
Kenyataan menyakitkan berikutnya aku harus terima bahwa orangtuaku mulai meninggalkanku demi pasangan barunya. Aku tak pernah membenci orangtuaku. Aku hanya membenci orangtuaku ketika bersama orang asing di kehidupanku. Orang yang tak pernah terlibat dalam tumbuh kembangku. Orang yang akan selalu aku anggap sebagai parasit.
Setahun belakangan, keinginan untuk bunuh diri terus terlintas dipikiranku. Sempat berfikir bunuh diri adalah cara satu-satunya agar orangtuaku bisa kembali bersama.
Namun, aku memutuskan untuk bertemu tiga orang psikiater. Berkonsultasi apa yang harus aku lakukan. Hidup dengan menahan kesakitan yang teramat sangat. Atau mengikuti bisikan setan untuk melakukan bunuh diri.
Aku lelah ketika rindu kebersamaan ayah dan ibuku hanya bisa menangis. Aku lelah menahan betapa sakitnya melihat ayah dan ibuku saling membagi cinta. Aku harus berbuat apa?

Seperti Hujan Yang Jatuh di Awal November.
Denpasar, 3 November 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages